Matahari telah tergelincir tiga puluh derajat ke arah barat. Di sebuah kamar hotel yang asri, seorang ayah terlihat sedang berkhalwat dengan pulpen dan notebooknya. Semua kesibukan di kamarnya seolah tiada, karena ia sibuk sendiri dengan pulpen pinjaman dan kertas pemberian. Asyik merangkai beberapa kata, lalu menuliskannya menjadi sebuah surat.
"Nak, beberapa puluh tahun yang lalu. Ada seorang anak yang disekolahkan oleh orang tuanya ke sebuah pondok. Pondoknya cukup jauh dari rumah, sekitar 11 jam perjalanan memakai bis. Saat itu belum seperti sekarang karena alat komunikasi jarak jauh masih terbatas. Belum ramai android maupun sosial media.
Sehingga ketika anak tersebut membutuhkan sesuatu, ia hanya bisa mengirimkan surat tulisan tangan untuk orang tuanya. Memakai perangko atau kilat khusus, tanpa ada konfirmasi apakah suratnya itu sudah sampai ataukah belum.
Aplikasi dan pelayanan transfer uang pun masih konvensional. Belum ada transfer online dan ATM. Kiriman uang jarak jauh baru bisa dilaksanakan memakai wesel pos. Kamu mungkin belum tahu wesel. Itu semacam kiriman uang dengan berupa surat berharga, yang oleh penerimanya bisa dicairkan di kantor pos.
Pernah suatu saat anak tersebut kehabisan bekal di tengah bulan, ia pun mengirimkan surat untuk orang tuanya. Seperti biasa, surat itu tanpa konfirmasi. Entah sudah sampai ataukah belum pesannya. Yang ia tahu hanyalah namanya tidak pernah tertulis dalam daftar penerima wesel di papan pengumuman pondoknya.
Di pondok tersebut ada waktu penjengukan. Ketika waktu itu tiba, seringkali ia kangen kepada orang tuanya. Ketika rasa itu tiba, ia pergi ke ruang tamu pondok, berharap orang tuanya ada hadir di sana. Namun beberapa kali ia ke sana, ia tak pernah menemukannya.
Lama-lama ia pun memilih menyerah. Karena sakit yang dideritanya, ia memilih untuk pindah sekolah. Ia pun pindah ke pesantren biasa dan tidak mondok.
Alhamdulillah ia bisa menyelesaikan sekolahnya, meski hanya setengah prosesnya. Ia memutuskan keluar pondok dan melanjutkannya di sekolah umum. Adapun hasilnya tentu berbeda dengan teman-temannya yang melanjutkan sekolah di pondok. Karena ilmu itu sesuai dengan kadar kesulitan saat meraihnya.
Kini di saat rambut di kepalanya mulai rontok dan beruban, ia masih harus bersusah payah mencari ilmu. Pergi keluar kota di saat mentari pagi belum nampak dan pulang di saat mentari sudah lama kembali ke peraduan. Karena ia merasa belum bisa apa-apa. Dengan kemampuan agama yang pas-pasan, ia harus menantang jaman yang semakin edan.
Kemampuan bahasa Arab yang masih taraf pemula, ulumul quran dan hadits yang minim, interaksi dengan kitab-kitab ulama yang masih terbatas, semua itu disesalinya di usia Dzuhur menjelang Ashar. Tapi ia tak menyerah, ia tetap berupaya menebus kesalahannya di usia muda.
Menuntut ilmu di usia dewasa tentu berbeda dengan di kala masih muda. Pepatah bilang, bagaikan mengukir di atas air. Karena itulah, ia harus berpacu dengan dingin untuk membekukan airnya agar dapat diukir. Kemudian menjaganya agar tidak segera mencair.
Nak, bersemangatlah mencari bekal ilmu Tsaqofah Islamiyyah di kala muda. Karena engkau terlahir bukan untuk jaman ini. Engkau terlahir untuk masa depan, dan masa depan adalah milik Islam dan umatnya. Sedari sekarang engkau berbekal, maka engkau akan menjadi pemimpin dan pendidik pemimpin di masa depan. Aamiiin. Itulah do'aku untukmu."
Lelaki itu pun mencabut lembaran kertas notebook yang telah ditulisinya. Lalu berkata,
"Ini surat untukmu, Nak. Bacalah ini di sela waktu senggangmu!"
Seraya menyerahkan carik kertas tersebut kepada seorang anak remaja yang sedari tadi berada di sampingnya.
.png)
Komentar
Posting Komentar