Menjadi
penulis membutuhkan perjuangan, tentunya. Namun sungguh sia-sia jika perjuangan
hanya berakhir menjadi tumpukan dokumen semata. Tidak mencerahkan, menggugah
dan mengajak orang untuk berubah ke arah yang lebih baik. Atau bahkan
sebaliknya –dan ini jauh lebih berbahaya- mengajak orang untuk bermaksiat,
berbuat jahat dan berubah ke arah yang lebih buruk.
Menulis hanyalah menuangkan ide dan gagasan
yang tersimpan di otak. Otak bagaikan teko, jika diisi teh manis maka ia akan
mengeluarkan teh manis. Sebaliknya jika diisi teh beracun, ia pun akan
mengeluarkan teh beracun. Otak yang diisi dengan informasi-informasi yang
benar, tentu akan mengalirkan tulisan yang tidak hanya baik, tetapi juga mampu
memperbaiki.
Kebenaran asasi bukanlah sesuatu yang
subjektif, bahkan ia adalah sesuatu yang objektif. Kebenaran asasi berpijak
pada aqidah. Berpijak pada jawaban atas pertanyaan mendasar manusia, mengenai
dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup di dunia dan mau kemanakah setelah
hidup ini.
Bagi seorang yang berpikir secara cemerlang,
tidak ada jawaban yang menenteramkan hati dan akal selain jawaban Islam. Yaitu,
hidup ini berasal dari Allah Swt sebagai Al Khaliq. Hidup manusia hanya untuk
beribadah (tunduk patuh) kepada Allah Swt. Kemudian setelah kehidupan ini
berakhir, kita akan kembali kepada Allah Swt, mempertanggungjawabkan seluruh
perbuatan kita.
Sungguh sia-sia jika manusia berjuang di
dalam hidupnya, tetapi bukan untuk mengabdi kepada Allah Swt. Ia akan
mengorbankan setiap waktunya, detik demi detik, menit demi menit sampai ke
tahun demi tahun untuk sesuatu yang tidak jelas. Sungguh ia akan merugi. Oleh
karena itu, seluruh aktifitas hendaklah menjadi perjuangan untuk taat
kepada-Nya, tak terkecuali aktifitas menulis.
Saat ini berseliweran ajakan kemaksiatan,
kekufuran dan kemusyrikan yang dibungkus dengan tulisan yang menyenangkan.
Renyah dan enak dibaca, mampu menghanyutkan para pembaca untuk mengikutinya.
Pemahaman komunisme, sekulerisme, liberalisme
sampai Nazisme pun semakin banyak dituliskan. Tentunya, ia siap mengisi benak
orang-orang yang haus akan pengetahuan, umumnya adalah kalangan terpelajar.
Sungguh besar pengaruh para penulis. Sesuatu yang sangat beralasan, jika negara
penjajah AS secara rutin mengundang para penulis dunia lewat Program Menulis
Internasional yang dipusatkan di University of Lowa. Salah seorang panitia
program tersebut pernah mengatakan, mengundang satu penulis lebih beruntung
daripada sepuluh orang bukan penulis.
Para pejuang Islam pun tak boleh ketinggalan.
Tanpa menafikan keutamaan kontak intensif dengan objek dakwah, menulis pun bisa
menjadi senjata perang pemikiran. Sebagaimana kita baca dalam sejarah, salah
satu faktor kemunduran Islam adalah masuknya pemahaman filsafat, dan itu masuk
ke benak kaum muslim melalui tulisan-tulisan yang diterjemahkan. Begitupun
sebaliknya, kitab-kitab tulisan para ulama salaf (terdahulu)
telah terbukti berpengaruh besar terhadap dakwah Islam di Nusantara.
Ijtihad dan pemikiran para muassis gerakan
Islam juga banyak terlestarikan melalui kitab dan tulisan. Ada Syaikh Hasan Al
Bana, Syaikh Yusuf Al Kandahlawi, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, Syaikh Sayyid
Quthb dan masih banyak lagi yang lainnya (semoga Allah Swt merahmati mereka.
aamiiin), buah pikiran mereka masih menginspirasi umat sampai saat ini. Banyak
orang yang telah tercerahkan, kemudian berubah lebih baik setelah mempelajari buku-buku
mereka, hatta setelah mereka wafat sekalipun. Nampaklah
keistimewaan sebuah tulisan, perjuangannya bisa melewati batas umur para
penulisnya.
Aktifitas menulis memang membutuhkan
perjuangan. Tetapi, selayaknya perjuangan menulis itu adalah demi perjuangan
itu sendiri. Yakni, perjuangan membongkar ide-ide busuk, serta agitasi dan
provokasi terhadap kemaksiatan. Dan tak kalah pentingnya, perjuangan untuk
mempropagandakan Islam, bukan yang lain.
(Ary H. - Pengelola FP Mudah Nulis)

Komentar
Posting Komentar