“Idza jaa’a nashrullah..!” teriak anak-anak kecil yang berjamaah maghrib di shaf bagian belakang.
Mereka mendahului imam yang masih membaca basmallah sebakda ucapan “Aamiin” para jamaah. Anak-anak seolah sudah mengetahui surat apa yang akan dibaca oleh imam. Ternyata benar, setelah membaca basmallah, imam pun membaca surat yang ditebak oleh anak-anak. Surat An Nashr, surat nomor 110 dalam Al Quran yang terdiri dari 3 ayat.
Aku yang berada di belakang imam pun menduga hal yang sama. Pasti Ust. Salim akan membaca surat tersebut. Kadang aku berpikir, mengapa setiap berjamaah shalat Maghrib, beliau selalu membaca surat tersebut pada raka’at pertama.
“Mengapa ya Ron, Ust. Salim selalu membaca surat tersebut?” Tanyaku kepada Roni, temanku yang sama-sama aktif di Ikatan Remaja Masjid Al Ihsan. Masjid di mana Ust. Salim sering mengimami shalat Maghrib.
Imam di masjidku memang ada tiga orang. Ust. Hafidz mengimami shalat Shubuh, Ust. Salim untuk Maghrib dan Isya adapun Ust. Shadiq mengimami Dzuhur dan Ashar.
Imam di masjidku memang ada tiga orang. Ust. Hafidz mengimami shalat Shubuh, Ust. Salim untuk Maghrib dan Isya adapun Ust. Shadiq mengimami Dzuhur dan Ashar.
“Aku juga ga tahu, Dul. Bahkan aku juga bertanya-tanya sama sepertimu.”
“Mengapa ya? Padahal hapalan surat Ust. Salim kan lumayan banyak.”
“Mengapa hanya surat itu saja yang sering beliau baca ketika rakaat shalat Maghrib?”
“Iya, saking rutinnya beliau membaca surat tersebut. Anak-anak saja sampai bisa menebaknya.”
“Apa beliau sudah lupa surat-surat yang lain ya? Hal tersebut dibolehkan oleh Rasulullah atau tidak ya?
Aku dan Roni terus saja bertanya-tanya. Meskipun lama-lama aku berpikir, kok sepertinya pembicaraan kami semakin mengarah pada buruk sangka.
“Sudahlah Ron. Kita akhiri saja perbincangan ini. Ga baik juga kalau kita bertanya-tanya sendiri. Mendingan kita tanya langsung ke beliau, yuk!” Ajakku kepada Roni.
“Kamu saja Dul, aku ngga berani,” kilah Roni.
“Dasar kamu Ron, masak begitu saja ga berani?” tanyaku
“Kan kamu juga yang bertanya-tanya sedari awal, kalau aku sih ga ada masalah,” jawab Roni.
“Lah, kamu ini. Tadi kamu bilang sama bertanya-tanya sepertiku. Sudahlah biarin saja, ga usah dipikirkan!”
“Ngapain juga nyari jawaban itu, mending kita nyari jawaban PR-nya pak Ahmad untuk dikumpul besok.”
“PR apa tuh?” tanyaku kepada Roni. Sungguh aku lupa kalau ada tugas rumah yang harus dikumpulkan besok.
”Itu, mencari dari manakah asal-usul istilah HOAX berasal. Harus dibuat dalam bentuk tulisan essai.” Jelas Roni.
“Oh yang itu ya? Waduh aku benar-benar lupa, aku pamit dulu ya,” pamitku seraya berlari meninggalkan Roni sendirian di pos Ronda.
Malam pun aku lalui dengan membuat essai untuk tugas pak Ahmad. Namun pikiranku tetap saja melayang ke surat An Nashr yang rutin dibaca Ust. Salim. Aku pun bertanya-tanya, bolehkah hal tersebut jika dilakukan secara terus-menerus. Bukankah surat-surat pendek yang lain pun masih banyak? Pikirku dalam hati. Sebenarnya aku sangat ingin menanyakannya kepada Ust. Salim, namun saat bertemu dengannya, melihat wajahnya saja aku sudah sungkan.
“Mak, boleh ga kalau kita hanya membaca surat tertentu di dalam shalat?” aku bertanya kepada Emak yang sedang menyetrika di kamar.
“Membaca surat tertentu bagaimana maksudmu, Nak?” Emak malah bertanya balik.
“Begini Mak, belakangan ini ust. Salim selalu saja membaca surat An Nashr ketika mengimami shalat Maghrib. Boleh ga Mak?” jelasku.
“Surat-surat pendek yang lain kan masih banyak Mak?” lanjutku.
“Oalah Nak! Itu toh maksudmu?” ujar Emak seraya terus melipat pakaian yang sudah rapih.
“Bukan oalah Mak, boleh ga Mak?” aku semakin penasaran.
“Setahu Emak sih boleh-boleh saja. Setelah membaca Al Fatihah, kita kan diperbolehkan membaca surat yang mudah untuk dibaca,” jelas Emak.
“Tapi, lebih baik kamu tanya sendiri sana ke Ust. Salim! Kan ilmu Emak juga terbatas. Emak ga pernah mesantren,” tutur Emak.
Begitulah sepenggal kisah pertanyaanku kepada Emak. Namun Emak memang tak sepintar pengisi acara “Mamah dan Aa”. Curhatku tak menemukan jawaban, malah tetap berujung pada pertanyaan. Emak malah berpendapat sama dengan Roni, menyuruhku langsung bertanya kepada Ust. Salim. Akhirnya, aku pun lanjut masuk kamar dengan tetap membawa pertanyaan.
Hari demi hari berlalu, Ust. Salim tetap mengimami shalat Maghrib di masjid kami. Beliau pun tetap dengan surat An Nashr-nya di rakaat pertama. Namun aku tak mau terus menduga-duga. Aku mencari-cari kesempatan supaya bisa menanyakan hal tersebut kepada beliau. Akhirnya, aku pun mendapatkan kesempatan tersebut.
Setelah mengajar anak-anak Diniyah aku pun menunggu adzan Maghrib di dalam masjid. Ya beri’tikaf sejenaklah lumayan setengah jam, pikirku. Tak biasanya, Ust. Salim datang sekitar sepuluh menit sebelum adzan. Ketika melihat beliau masuk masjid, aku pun menyapa dan menyalaminya.
Sesaat sebelum beliau berlalu ke depan, aku pun memberanikan diri untuk bertanya kepadanya “Sebentar ustadz, bolehkah saya bertanya?”
“Oh, boleh saja?” Beliau pun langsung duduk bersender di dinding utara Masjid.
“Mau bertanya tentang apa?” Lanjut beliau.
“Begini ustadz, sebelumnya saya mohon maaf jika pertanyaan saya ini menyinggung pak Ustadz.
“Ga apa-apa Dul, tenang saja,” jawabnya seraya menatapku ramah.
“Pertanyaan ini sebetulnya sudah lama saya pendam, tetapi saya baru bisa menanyakannya kepada ustadz. Kebetulan ketemu ustadz sore ini di masjid,” jelasku agak panjang.
“Iya, pertanyaan apa? Ntar malah keburu waktu Maghrib tiba,” ucapnya.
“Oh iya, ya. Ini pak Ustadz…ehm…” bicaraku agak tersendat.
“Mengapa belakangan ini, pak Ustadz selalu membaca surat An Nashr dalam setiap rakaat pertama shalat Maghrib?” aku menyelingi pertanyaanku dengan senyuman.
“He..he…, maaf lho pak Ustadz. Saking seringnya dibaca, anak-anak sampai hafal.”
Ustadz Salim tak langsung menjawab. Ia terdiam sejenak sembari tangannya sibuk menjumputi remah-remah sampah di karpet masjid. Begitulah kebiasaannya apabila sedang bicara santai. Sesekali, tangannya melemparkan remah-remah sampah itu ke luar jendela.
“Begini Dul. Bukankah lebih baik jika pengulangan bacaan itu membuat anak-anak menjadi hapal?”
“He..he..Iya sih pak Ustadz,” jawabku seraya tersenyum.
“Tapi, ga masalah ya pak Ustadz kalau kita membaca surat tersebut terus-terusan?” tanyaku kemudian.
“Begini Dul. Pada jaman Rasulullah Saw, ada seorang shahabat Anshar yang sering menjadi imam di masjid Quba. Setiap habis Al Fatihah, ia memulai bacaan surat pendeknya dengan surat Al Ikhlash. Para shahabat yang lain pun memprotesnya namun ia tetap pada pendiriannya. Permasalahan tersebut sampai kepada Rasulullah Saw. Beliau Saw kemudian bertanya kepada orang tersebut, “Hai, Fulan! Apakah yang menghalangimu untuk melaksanakan apa yang diminta oleh para shahabatmu? Dan apakah yang membuatmu selalu membaca surat ini (Al Ikhlash) dalam setiap raka’at?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku menyukainya (surat Al Ikhlash) wahai Rasulullah.” Maka Nabi Saw pun bersabda,”Sesungguhnya kesukaanmu kepadanya akan memasukkanmu ke dalam surga.”
“Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari rahimahullahu ta’ala di dalam bab menggabungkan antara dua surat dalam satu raka’at.” Jelas Ustadz Salim.
“Lalu, apa hubungannya pak Ustadz?” Tanyaku yang belum memahami penjelasan beliau.
“Sebentar Dul, satu lagi.”
“Imam al Bukhari pun meriwayatkan sebuah hadits dalam Kitab Tauhid. Bahwasanya Rasulullah Saw telah mengutus seseorang dalam sebuah sariyah (ekspedisi militer). Maka dia menutup surat pendeknya dengan membaca surat Al Ikhlash. Hal ini pun sampai kepada Rasulullah Saw, Beliau memerintahkan para shahabat untuk menanyakan alasannya. Para shahabat pun menanyakan hal tersebut kepadanya. Orang itu menjawab,“Karena ia (surat Al Ikhlash) merupakan sifat Ar Rahman dan aku suka membacanya.” Maka Nabi Saw bersabda,”sampaikanlah kepadanya, Allah menyukainya.” Jelas Ustadz Salim kemudian.
“Jadi, bagaimana pak Ustadz?”
“Dul, kamu tahu kandungan surat An-Nashr?”
“Iya pak Ustadz, tentang pertolongan Allah.”
“Kamu tahu kondisi kaum muslim saat ini. Palestina, Irak, Afghanistan, Suriah, dan…” suara Ust. Salim tercekat. Tiba-tiba ia diam dan menunduk.
”dan…,” air mata beliau menetes.
“yang menimpa Rohingya.”
Aku hanya bisa terdiam mendengarkannya dengan seksama.
”Belum lagi yang menimpa kaum muslim di negeri ini, kaum muslim hidup dalam keterpurukan yang sangat parah.”
“Bagi Bapak, Surat An-Nashr itu memberikan keyakinan dan pengharapan. Keyakinan akan pertolongan Allah, keyakinan akan keniscayaan kemenangan umat Islam di masa depan. Karena itulah Dul, Bapak sangat suka membacanya.”
“Dul, Allah Swt memerintahkan kita untuk meminta tolong kepadanya dengan sabar dan shalat. Bapak berharap, shalat ini akan selalu menguatkan kita akan keyakinan terhadap pertolongan Allah Ta’ala.”
“dan…., insyaAllah Dul, kita harus menyambut pertolongan yang semakin dekat itu dengan usaha atau dakwah.” Pungkas Ust. Salim sembari menyeka lelahan air matanya.
Aku tak menyangka jawaban Ust. Salim akan sampai sedalam itu. Memang, jika menyaksikan berbagai tuduhan, berita miring serta ketidakadilan dunia terhadap umat Islam saat ini. Hatiku pun sering tercabik-cabik. Mengapa kaum muslim selalu menjadi pihak tertuduh. Namun, mengapa keyakinanku akan pertolongan Allah belum seyakin Ust. Salim. Ah, mungkin karena ilmuku yang masih terbatas. Sejak Maghrib itu, aku pun berjanji untuk mempelajari ilmu agama lebih serius lagi.
Maghrib itu, seakan aku baru mendengar surat An Nashr. Aku mendengarnya dengan sarat makna.
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (TQS. An Nashr: 1-3)
#AryH

Komentar
Posting Komentar