"Mas, aku bisa pinjam motornya ga?" Tanya Abdul untuk ke sekian kalinya kepada beberapa orang yang berbeda.
"Ga bisa e, aku ada perlu ke kota," jawab Mas Farhan.
"Duh, gimana ya?" Pikir Abdul dalam hati.
"Masak aku harus memakai motorku sendiri," lanjutnya.
Abdul terus memutar otak, tapi tak ada satu pun solusi selain memakai motornya sendiri. Tapi bagaimana jika Kak Handi melihat motor yang ia kendarai. Sudahlah warnanya ungu cerah, list pelangi pun menempel di semua pinggiran bodi Vespanya. Pokoknya, gaul banget deh itu motor Abdul.
Siang menjelang sore itu Abdul ada janji dengan Kak Handi di sebuah Masjid. Baginya, pertemuan itu serasa setara dengan ketemuan dengan dosen pembimbing Tugas Akhir. Dalam bayangannya, wah pasti ditanya ini dan itu. Apalagi ia baru mau pertama kali ini ketemu dengan Kak Handi.
Kak Handi adalah kakak kandung Aminah. Seorang gadis yang dikenalkan oleh gurunya kepadanya beberapa pekan yang lalu. Kebetulan Kak Handi sedang berada di Jogja, ia ingin bertemu dengan Abdul. Mungkin karena Aminah dan orang tuanya yang bercerita tentang Abdul kepadanya.
Abdul bukanlah Si Dilan. Ia tak mampu berkata-kata indah dengan bebas terhadap Aminah. Ia hanya sedang berta'aruf dengannya. Meskipun Abdul ada hati, restu kedua orang tua Aminah tentu menjadi hal utama yang mesti ia dapatkan. Oleh karena itu, tampilannya untuk bertemu dengan Kak Handi, bisa menjadi salah satu penentu langkah selanjutnya.
Akhirnya, Abdul pun memutuskan untuk memakai motornya sendiri. Meskipun ia tetap berpikir, bagaimana caranya supaya motornya tak terlihat oleh Kak Handi.
"Alhamdulillah, aku punya ide! Nanti aku datang lebih awal saja kemudian parkir motor di tempat yang agak tersembunyi," pikir Abdul dengan hati yang girang.
Janjian jam 14.00, namun Abdul sudah sampai di Masjid Besar setengah jam sebelumnya. Abdul pun langsung menuju sebelah Selatan Masjid. Di sana, tempat parkirnya terhalangi teras masjid yang menjorok keluar. Abdul langsung memarkir Vespanya yang berwarna Putih Ungu serta berlist pelangi tersebut. Ia pun tak lupa, memasukkan sandalnya ke bagasi kiri Vespanya, karena ia pernah mengalami kenangan pahit di lokasi ini bebera pekan yang lalu. Sandal gunung Mas Farhan yang ia pinjam, raib digondol maling. Untung saja Mas Farhan saat itu tak minta ganti rugi.
Abdul duduk di teras masjid seraya sesekali melirik HP-nya. Jaga-jaga ada sms dari Kak Handi. Sekitar setengah jam kemudian, Kak Handi pun datang ditemani Aminah. Ternyata ia tak seperti yang Abdul bayangkan, bawaannya kalem dan akrab. Berbagai hal tentang keluarga dan serta rencana masa depan pun dibicarakan. Termasuk niat Abdul untuk mempersunting Aminah menjadi istrinya.
Tak lebih dari sebulan Abdul mengenal Aminah. Namun kisah Abdul dan Aminah tak seperti kisah Dilan dan Milea. Abdul dan Aminah tak mengenal pacaran, mereka berdua hanya berkenalan dan memutuskan untuk berlanjut ke jenjang pinangan. Di jenjang inilah Abdul mengenal keluarga Aminah, begitu pula sebaliknya. Karena itulah, berbagai hal mengenai keluarga serta pekerjaan, tak luput dari perbincangannya dengan Kak Handi.
Abdul bukan malaikat, ia pun manusia biasa yang memiliki naluri melestarikan jenis. Ya, sesekali ia melirik wajah Aminah. Mungkin sekedar memastikan bahwa gadis yang di hadapannya merupakan calon istri yang ia pilih. Jika berjodoh, ia pula yang ke depan akan menjadi ibu dari anak-anaknya. Kadang ada rasa berdesir ketika melihat Aminah, ada pula godaan untuk berkata-kata indah seperti, "Dik, rindu itu berat seperti pikulan beras," tapi sekali lagi Abdul bukanlah Dilan dan Aminah bukanlah Milea.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Perbincangan pun ditutup seiring adzan Ashar yang sudah berkumandang.
Sebakda Ashar, Abdul tak langsung pulang. Ia berharap Kak Handi dan Aminah pulang terlebih dulu. Tentunya agar Kak Handi tak melihatnya dengan Vespa cerahnya. Setelah ia memperkirakan Kak Handi dan Aminah sudah pulang, Abdul pun menuju selatan teras masjid. Ia menghampiri motornya, mengeluarkan kunci di saku celananya dan langsung membuka bagasi Vespanya untuk mengambil sandalnya.
Ketika Abdul sedang mengambil sandal tiba-tiba seseorang menyapanya dari belakang,
"Assalamu 'alaikum, duluan ya?"
Abdul hanya tercekat, senyumannya tertawan rasa kaget. Ternyata Abdul salah perhitungan. Sebelumnya ia menyangka bahwa Kak Handi dan Aminah tidak akan melewati gang kecil di dekat parkiran motornya.
"Eh, Kak...ehm wa 'alaikumussalaam. Kok lewat sini kak?" Tanya Handi basa-basi.
"Iya, ini mau ke sebelah sini dulu," ujar Kak Handi tersenyum lebar.
Abdul pun hanya bisa mengakhiri kisahnya dengan tersenyum. Biarlah apapun yang nanti akan menjadi penilaian Kak Handi, biarlah tampilan Vespa gaulnya dengan dominan warna ungu menjadi bagian dari penilaian Kak Handi. Yang pasti, ia telah berbicara tentang dirinya apa adanya. Abdul sudah menapaki jalan yang halal untuk berumah tangga, mengapa ia harus malu dengan warna cerah Vespa ungunya, begitulah pikir Abdul.
(True Basic Story @Kereta Kutojaya Selatan)
Komentar
Posting Komentar