Langsung ke konten utama

Gara-gara Iseng (Bagian 2)

 

            “Iya Di, insya Allah aku bantu bicara dengan Udin” Jawab Asep sambil tersenyum. Ia menepuk pundak temannya. Ia berharap, mudah-mudahan tepukannya tersebut bisa meringankan beban yang dihadapi temannya.

            “Makasih sebelumnya ya, Sep!” Ujar Adi. Ia pun tersenyum, matanya berbinar, keceriaan tampak di wajahnya.
Adi terlihat senang karena ada yang bisa membantunya berdamai dengan Udin. Adi anak yang terdidik sebagai anak yang agamis. Ia tentu paham bahwa sesama muslim tidak boleh bertengkar lebih dari tiga hari, sedangkan hari ini adalah hari kedua pertengkarannya dengan Udin. Mungkin melalui Asep-lah, Adi berharap Udin bisa terbuka tentang penyebab kemarahannya.
            “Ga usah berterima kasih padaku, Di” Jawab Asep. “Insya Allah nanti sore sepulang ngaji, aku langsung ke rumah Udin” Lanjut Asep meyakinkan.
            “Ok Sip ! Tapi aku benar-benar berterima kasih lho Sep !” Kata Adi. “Eh, ngomong-ngomong kamu ngaji di mana?” Tanya Adi penasaran.
            “Itu Di, aku ngaji rutin mingguan di Tuan Guru Ahmad, di jalan Diponegoro” Jawab Asep.
            “Oooh, insya Allah minggu depan aku juga ikutan ya” pinta Adi serius. “Soalnya, sejak guru ngajiku pindah ke Praya aku belum mengaji rutin kembali, boleh ya?” tanyanya kemudian.
            “Ya tentu boleh dong, nanti aku sampaikan ke Tuan Guru Ahmad”, jawab Asep penuh semangat. “Mari kita pulang!” Ajak Asep
            “Ayo!” Sambut Adi dengan gembira.
Mereka berdua pun langsung menyusuri jalan Moh. Yamin, lalu berpisah di dekat RSU Selong, menuju rumahnya masing-masing.  
Sebagaimana janjinya kepada Adi, sepulang mengaji dari Tuan Guru Ahmad, Asep langsung menuju rumah Udin di daerah Puri Sawing Kencana. Jarak rumah Tuan Guru Ahmad tidaklah terlalu jauh, hanya sekitar 3 km. Dengan menaiki sepeda BMX-nya, tidak sampai 10 menit, Asep sudah sampai d depan rumah Udin. Rumahnya yang asri penuh pepohonan yang tertata rapih, lengkap dengan taman dan beruga di halaman depan. Terlihat Udin sedang menyiram tanaman. Ia tidak menyadari kedatangan Asep.
            “Assalamu’alaikum!” Sapa Asep, sesaat setelah menghentikan sepeda birunya.
            “Wa’alaikumussalam!” Jawab Udin.  “Eh, kamu Sep! mari masuk!” Ajaknya.
Asep hanya membalas dengan senyuman, ia pun langsung memenuhi ajakan Udin. Ia menuntun sepedanya memasuki rumah menuju sebuah beruga.
            “Rajin sekali kamu Din, pantesan saja tanamannya segar-segar, dirawat dengan penuh keikhlashan sih,” Puji Asep membuka pembicaraan.
            “Ah, kamu bisa aja. Aku hanya memenuhi hak sesama makhluk Allah,” Jawab Asep merendah. “Mereka kan sudah memberi kita banyak oksigen setiap hari. Konon katanya menurut penelitian lembaga lingkungan nasional Kanada, dua pohon rindang ini bisa memenuhi kebutuhan oksigen 4 orang” Jelas Udin.
            “Masya Allah! luas juga pengetahuanmu Din,” Ucap Asep.
            “Ah, bisa saja kamu, kebetulan saja aku baru membacanya tadi di koran,” Jawab Udin diiringi tertawa kecil.
Mereka berdua pun duduk di beruga, Asep menyandarkan sepedanya di sudut bangunan kecil khas Lombok tersebut.
            “Eh, ngomong-ngomong ada apa nih?” Tanya Udin.
            “Ngga ada yang serius-serius amat sih, kebetulan aku pulang mengaji, lalu mampir ke sini”, Jawab Asep, ia terlihat canggung mengutarakan maksudnya secara langsung. Tetapi, tak lama terdiam, Asep pun mulai membuka diri.
            “Sebenarnya kedatanganku ini ada hubungannya dengan kejadian di lapangan basket kemarin” Jelas Asep.
Udin mendengarkan paparan Asep secara seksama, ia hanya manggut-manggut. Karena Asep tak melihat riak emosi dari lawan bicaranya, ia pun melanjutkan pembicaraannya.
            “Adi betul-betul keheranan, ia bertanya-tanya mengapa Kamu semarah itu kepadanya,” lanjut Asep. Asep menghentikan ucapannya, sejenak memberikan waktu kepada Udin untuk berbicara.
            “Begini Sep, sebaiknya kamu jangan komentar apa-apa sebelum kamu membaca coretan kasar di buku tulisku,” kata Udin datar. Mungkin emosi Udin sekarang sudah mereda. Ternyata bagaimanapun temperamentalnya seorang Udin, ia masih bisa diajak bicara dari hati ke hati.
            “Sebentar ya, aku bawakan buku tulisku,” Pinta Udin seraya beranjak pergi masuk ke rumahnya.
Sesaat Udin pun keluar membawa sebuah buku tulis. Telunjuknya dijepitkan di tengah halaman bukunya, seolah ia sedang menandai sesuatu.
            “Nih, Sep! Aku sudah bicara dengan Hasan, itu jelas tulisan tangan Adi,” Jelas Udin. Seraya menyodorkan buku tulis itu kepada Asep.
Asep sangat mengenal buku tulis tersebut, apalagi sudah beberapa bulan belakangan ini ia duduk sebangku dengan Udin. Ia sangat penasaran atas apa yang ditunjukkan oleh Udin kepadanya. Karena itulah matanya langsung tertuju pada sebuah coretan singkat di bagian atas halaman. Sungguh ia sangat terhenyak, karena ia sangat mengenal tulisan tersebut.
            “Iya kan Sep, itu tulisan Adi? Aku dan Hasan tanda betul dengan huruf a nya,” tanya Udin meyakinkan.
Asep hanya terdiam, ia sama sekali tidak berkomentar. Ada perasaan berkecamuk di dalam dirinya. Tetapi sungguh ia tak mengerti mengapa tulisan itu membuat Udin marah.
            “Kasar sekali kan tulisan Si Adi kepadaku? Masa aku disamakan dengan hewan, najis lagi” Tanya Udin dengan sedikit emosi.
            “Setiap kali melihat ini, emosiku selalu terpancing, sungguh keterlaluan Si Adi itu!” Nada bicara Udin mulai meninggi.
Asep tidak berkomentar, ingin sekali rasanya ia mengatakan sesuatu, tetapi hal itu ia pendam dalam-dalam.
            “Mengapa kau diam saja, Sep?” Udin sepertinya mulai kesal. Mungkin karena Asep malah diam membisu.
            “Eh...eh, hmm...ga apa-apa Din. Aku hanya tidak yakin jika ini tulisan Adi,” Jawab Asep agak terbata. Ia sangat khawatir salah bicara, karena hal itu tentu akan membuat semakin runyam suasana.
            “Ah kamu ini, jelas ini tulisan Si Adi kok! Aku yakin!” tandas Udin dengan nada yang semakin meninggi. Udin terlihat semakin mantap dengan dugaannya.
“Waduh ! Aku salah bicara nih,” bisik Asep dalam hatinya. “Bisa gawat kalau terus-terusan emosi begini,” lanjutnya. Setelah memutar otak sejenak, Asep pun mengutarakan pendapatnya.  
            “Ok, Ok..., tenang dulu Bagaimana kalau kita selesaikan hal ini secara kekeluargaan?” jelas Asep. “Biar aku minta Pak Apip untuk menjembatani perseteruan kalian sepulang sekolah besok,” katanya semakin meyakinkan. “Kamu kan paham kalau sesama muslim tidak boleh bertengkar lebih dari tiga hari kan?” Tanya Asep penuh retorika.
            “Iya sih, tapi aku yakin ini tulisan Si Adi,” Jawab Udin dengan penuh keyakinan. “Dan Si Adi memang harus diberi pelajaran, aku setuju dengan usulmu,” tegas Udin.
            “Baiklah Din, besok biar aku bicara ke pak Apip setelah istirahat kedua ya?” pinta Asep. “Waktu sudah jam enam lebih nih, sebentar lagi maghrib, aku harus pulang dulu Din,” jelasnya seraya turun dari beruga.
            “Aku minta maaf lho ya, sudah mengganggu waktu santai kamu dan sudah buat kamu emosi,” ujar Asep dengan nada halus merendah. Ia ingin meredakan emosi Udin yang meningkat selama pembicaraan. Ia pun menyodorkan tangan kanannya mengajak bersalaman.
            “Assalamu’alaikum,” ucap Asep.
Udin pun menyambut tangan Asep, lalu menjawab salamnya, “wa ‘alaikumussalaam.”
Dengan menaiki kembali sepedanya, Asep pun pulang dengan perasaan yang masih penuh keraguan. Hatinya bertanya, bisakah ia menyelesaikan perseteruan ini.

Bel istirahat kedua sudah lama berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia pun seharusnya sudah dimulai, tetapi Pak Apip tak kunjung datang. Padahal biasanya, beliau selalu masuk tepat waktu. Kata sebagian teman-temannya. Pak Apip terlihat sedang bicara serius dengan Asep di ruang BP. Udin sih sudah menduga, pasti Asep mengadukan masalah perseteruannya dengan Adi kepada Pak Apip, sebagaimana yang kemarin direncanakan. Begitu pula dengan Adi, ketika bertemu dengan Asep di pagi hari tadi, Asep sudah bercerita tentang solusi yang disepakatinya bersama Udin. Asep yakin tidak bersalah, karena itulah ia percaya bahwa Pak Apip akan bersikap bijak.
Setelah hampir 15 menit jam pelajaran ke tujuh di mulai, datanglah Pak Apip bersama Asep.
            “Assalamu’alaikum!” Sapa Pak Apip, seraya membuka pintu kelas.
            “Wa ‘alaikumussalaam!” Para siswa menjawab salam secara serentak.
Pak Apip tidak langsung duduk di kursi guru. Beliau langsung berdiri di kelas seraya menggandeng Asep. Beliau pun memulai pembicaraan.
            “Mohon perhatiannya ya!” kata Pak Apip dengan sedikit berteriak. Maklum, para siswa tidak semuanya langsung diam dan mengakhiri pembicaraan mereka. Setelah kegaduhan mulai mereda, Pak Apip melanjutkan pembicaraannya.
“Anak-anakku sekalian yang Bapak cintai dan sayangi, Bapak sudah mendengar tentang kesalahpahaman antara Adi dan Udin, “ katanya mengundang perhatian. Para siswa langsung terdiam. Hanya terdengar suara saling berbisik di antara mereka. Semua siswa di kelas sudah paham tentang cerita tulisan hinaan itu. Mereka mengetahuinya dari Hasan dan Udin. Di antara mereka ada yang percaya bahwa Adi-lah pelakunya, tetapi ada juga yang tidak.
“Asep juga sudah banyak berbicara dengan Bapak. Oleh karena itu, Bapak minta Asep untuk menjelaskan kejadiannya secara langsung kepada kalian. Silahkan Sep!” Jelas Pak Apip seraya mempersilahkan Asep untuk angkat bicara.
Entah kenapa, Asep tidak langsung berbicara. Terlihat sedikit ada keraguan di wajahnya.
“Setelah Asep menjelaskan, Bapak harap masalah ini menjadi beres dan tidak berkepanjangan,” lanjut Pak Apip. Pak Apip melihat ada keraguan yang membuat Asep tak juga memulai pembicaraannya.
“Ayo, silahkan dimulai Sep!” titah Pak Apip untuk yang kedua kalinya.
“Iya, baik Pak,” jawabnya.
“Begini teman-teman, sebetulnya perseteruan antara Udin dan Adi benar-benar terjadi karena kesalahpahaman,” kata Asep sambil melirik ke Udin dan Adi.
“Berdasarkan pengakuan Udin dan saya juga melihat buktinya. Perseteruan ini, dipicu oleh coretan kecil di buku Udin, “ pada kalimat ini Asep mulai terdiam.
“Saya bukan membela Adi, tetapi saya yakin bahwa itu bukan tulisan Adi!” tegasnya mantap.
“Karena..., karena...” Asep mulai terdiam. Para murid semakin penasaran dengan tingkah Asep ini, dalam hati mereka pun mulai bertanya-tanya.
“Itu adalah tulisan saya!” Lanjut Asep. Hampir seisi kelas langsung meneriaki Asep, mereka tidak menyangka siswa pindahan yang terkenal pendiam dan alim itu mencaci Udin melalui coretan kecil. Bahkan, Udin dan Adi pun terlihat emosi. Untung Pak Apip cepat tanggap. Beliau langsung meminta siswa untuk mendengarkan penjelasan Asep. Setelah cemoohan siswa mulai mereda, barulah Asep melanjutkan pembicaraannya.
 “Mohon maaf teman-teman sekalian, Saya asli orang Sunda. Sebelum di Bandung saya dibesarkan di Kota Tasikmalaya,” lanjut Asep. “Adapun selama tinggal di sini, saya tinggal d komplek rumah dinas, yang hampir semua penghuninya berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, saya belum  banyak mengerti bahasa Sasak. Saya tidak tahu jika dalam Bahasa Sasak, kata-kata yang saya tulis bermakna...,” Asep terdiam, ia sangat berat untuk melanjutkan ceritanya. Lalu ia pun menunduk malu.
            “Sungguh saya minta maaf, saya menulis iseng, “Nama : Udin, Alias : Acong” Bukan dalam rangka menghina, mencaci dan merendahkan. Semata-mata karena Udin bermata sipit berkulit putih, persis  seperti orang China. Dan, selama saya di Tasikmalaya, Acong adalah nama orang China, dan tidak ada arti lain,” jelas Asep. Lalu, ia pun melanjutkan penjelasannya, “Sungguh sedikit pun saya tidak punya niatan itu. Sekali lagi, saya mohon dimaafkan.”
Para siswa menjadi kikuk menyaksikan tingkah Asep, bahkan menjadi kasihan kepadanya. Karena, semua yakin bahwa Asep melakukannya semata-mata karena ketidakpahaman bahasa, bukan yang lain. Hal ini juga dirasakan oleh Udin dan Adi yang mulai saling berpandangan dan tersenyum. Udin dan Adi menarik nafas lega. Setelah saling memberi isyarat, Udin dan Adi pun langsung menghampiri Asep di depan kelas. Mereka pun langsung memeluk Asep dengan erat. Asep pun semakin terisak.
            “Maafkan aku ya Din! Maafkan aku ya Di! pinta Asep dengan suara lirih, kalian jadi bertengkar gara-gara aku,” ucap Asep.
            “Ga apa-apa kok, kami sudah memaafkan,” Ujar Adi.
            “Iya Sep, ga apa-apa, kami bisa memahami yang kamu rasakan,” timpal Udin.
Para siswa pun mengekspresikan kegembiraannya masing-masing, ada yang mengucapkan hamdalah, bersorak, bertepuk tangan ada pula yang sekedar tersenyum. Ternyata, semua ini terjadi karena perbedaan dalam memahami bahasa.
Setelah kejadian itu, Asep sangat berhati-hati dalam mengeluarkan istilah-istilah yang berasal dari daerah asalnya. Karena, ia khawatir terjadi kesalahpahaman makna lagi. Dan memang ternyata begitu faktanya, ada juga kata lain yang maknanya sangat berjauhan antara Bahasa Sasak dengan Bahasa Sunda. Misalnya kata “godeg”, dalam Bahasa Sunda berarti jambang, sedangkan dalam Bahasa Sasak berarti monyet. Begitu pula bagi Adi dan Udin, aroma persaingan di antara mereka tidak kentara lagi. Mereka lebih sering terlihat saling membantu dan bekerja sama, dibandingkan saling mengalahkan. Mereka bertiga pun menjadi sahabat yang akrab.

== T A M A T ==

Komentar

Populer di Blog Ini

Agar Cinta Menulis

Mencintai pekerjaan adalah sesuatu hal yang sangat penting, begitulah pandangan keumuman kita. Bahkan, keahlian seseorang seringkali dihubungkan dengan kecintaannya pada suatu pekerjaan. Mencintai terlebih dulu pekerjaannya, barulah ada garansi untuk menjadi ahli karenanya. Dunia menulis pun tak luput dari pandangan tersebut. Untuk menjadi penulis, biasanya kita menghubungkannya dengan kecintaan seseorang terhadap aktifitas menulis. Misal, ketika seseorang suka menulis sedari kecil, disimpulkanlah bahwa ia berbakat menjadi seorang penulis. Benarkah mesti demikian adanya? Penulis tidak membantah adanya kesukaan seseorang terhadap menulis sedari kecil. Mungkin memang benar demikian adanya. Penulis pun tak menampik bahwa mencintai menulis adalah sesuatu yang penting. Karena, cinta menulis akan membuat kita enjoy bersamanya. Namun, penulis kurang setuju jika cinta menulis merupakan bakat bawaan sedari lahir. Sehingga, ia tak bisa disemai dan ditumbuhkan. Ada dua hal pokok yang b...

Mengawal Gerakan Literasi

sumber gambar : literasi[dot]jabarprov[dot]go[dot]id. Geliat aktifitas literasi dan kepenulisan generasi muslim belakangan ini memang begitu menggairahkan. Hal ini seolah memberikan banyak harapan dan angin segar kebangkitan. Apalagi dengan berbagai kemudahan fasilitas berkarya dan memublikasikannya. Geliat ini bukan sekedar isapan jempol. Karena sebuah tulisan, konon bisa memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih lama dibandingkan sebuah ucapan. Sehingga sangatlah besar ekspektasi terhadapnya; geliat kepenulisan generasi muslim akan menghantarkan pada geliat kebangkitan Islam.    Sebagaimana aktifitas membaca, sebenarnya aktifitas menulis tidaklah akan menghantarkan pada kebangkitan masyarakat. Karena pada hakikatnya, membaca dan menulis hanyalah bagian dari sarana penyerapan dan penyampaian informasi. Informasi tersebutlah yang akan disimpan sebagai pemikiran di dalam otak kemudian pandangan hidup (aqidah) yang dimiliki setiap insan akan menentukan apakah pe...

Langkah Praktis Menulis Via Blog Mulai dari Nol

Rekan-rekan semua, berikut akan saya paparkan bagaimana tips praktis membuat blog dengan blogger. Mari kita ikuti langkah-langkah berikut : Bagi yang belum punya email, masuk ke  www.gmail.com Pilih  Buat akun   Isi formulir pada tampilan berikut dan ikuti langkah sampai konfirmasi bahwa email sudah aktif.   Jika email sudah aktif, silahkan masuk ke  www.blogger.com Klik  Tambahkan Akun  pada tampilan berikut : Setelah muncul tampilan di bawah ini,  Masukkan email rekan-rekan semua, sebagai contoh saya masukkan email saya ary.smknkadipaten@gmail.com, klik berikutnya, lalu isikan password email rekan-rekan semua. Pilih Buat Profil Google+ lalu ikuti langkah selanjutnya (saya sarankan memakai identitas sesuai KTP, karena kita sedang membuat kartu nama di dunia maya). Sampai muncul seperti di bawah ini atau yang semisalnya (mungkin tampilan berbeda-beda tergantung lengkapnya langkah yang diambil). Lalu, pilih  Lanjutk...

Total Tayangan