Iman adalah pembenaran pasti yang sesuai dengan fakta berdasarkan dalil. Oleh karena itu, keimanan tidaklah diwariskan. Keimanan diraih dengan proses berpikir. Keimanan yang benar akan sesuai fitrah, memuaskan akal dan menenteramkan hati.
Perjalanan menuju keimanan ini pun ditempuh oleh Abu Bakar. Ditengah berbagai penyimpangan agama leluhur di seluruh penjuru jazirah Arab, Abu Bakar termasuk orang yang menjaga diri. Ketika itu berbagai keyakinan menyebar seantero Mekah. Dari mulai penyembahan terhadap berhala, matahari, malaikat, bintang-gemintang, jin bahkan ada juga kaum atheis.
Agama Ibrahim yang lurus seolah lenyap, kemarau iman melanda Mekah dan seluruh jazirah Arab. Meskipun demikian ada pula beberapa orang yang berperan laksana oase-oase di padang pasir. Mereka mengibarkan panji ajaran Ibrahim a.s. serta meningggalkan kemusyrikan.
Ada Suwaid bin Amir Al Musthaliqi, Zharib Al-Adawani, Mulatammis bin Umaiyah al-Kinani, Zuhair bin Abi Sulma sampai Abu Qais bin Anas. Abu Qais berumur panjang dan masuk Islam setelah Rasulullah Saw diutus.
Selain mereka adapula yang memiliki keyakinan kuat akan datangnya utusan terakhir, yakni Qus bin Sa’id Al-Iyadi, Zaid bin Amr bin Nufail dan Waraqah bin Naufal. Ketiga orang inilah yang sering ditemui oleh Abu Bakar. Meskipun ketiganya tak berdaya untuk melawan kemusyrikan yang telah merajalela, mereka tak menyusun dakwah secara terorganisir untuk mengembalikan ajaran tauhid. Mereka pun tak memiliki manhaj untuk mengembalikan ajaran Ibrahim.
Abu Bakar sangat senang jika mendengar ucapan-ucapan mereka yang lembut dan penuh kebenaran. Kaum Quraisy tak begitu memedulikan ketiganya, karena mereka hanya mengurusi diri sendiri. Namun bagi Abu Bakar, syair-syair yang mereka lantunkan sangat menenangkan hati dan menentramkan jiwa. Di tengah masyarakat yang mengkultuskan berhala dan tuhan-tuhan lainnya, Zaid bin Amr bin Nufail pernah bersyair,
“Satu Tuhan atau seribu tuhan yang aku anut,
Kala segala persoalan terpecah-belah”
Zaid bin Amr merupakan orang yang paling vokal di antara ketiganya, ia pernah dikurung di rumahnya karena kaum Quraisy merasa terganggu oleh ucapan-ucapannya.
Di tengah kemelut hati yang bimbang mencari jawaban keimanan. Abu Bakar sama sekali tidak pernah terlibat pada aktifitas penyembahan berhala. Ia tenang dengan jalannya sendiri. Kegemaran Abu Bakar adalah menghafal budaya Arab berupa puisi dan prosa nan indah.
Begitulah Abu Bakar, di tengah penantiannya terhadap kebenaran iman. Ia tetap menjaga diri dari berbagai sumber kemaksiatan, utamanya kemusyrikan. Abu Bakar merasa senang ketika melihat Zaid bin Amr bin Nufail renta bersender di dinding Ka’bah lalu berseru, “Wahai Kaum Quraisy, demi jiwaku yang berada di dalam genggaman-Nya, di antara kalian tak seorang pun yang kini memeluk agama Ibrahim selain aku. Sungguh, aku mengikuti agama Ibrahim dan Ismail sepeninggalnya. Dan sungguh, aku sedang menantikan seorang Nabi dari keturunan Ismail, meskipun sepertinya aku tidak akan berjumpa dengannya.”
Zaid kemudian menatap Amir bin Rabi’ah kemudian menyerunya, “Wahai Amir bin Rabi’ah! Jika umurmu panjang, sampaikanlah salamku kepadanya.”
Zaid menerobos barisan orang-orang yang berkumpul di sekitar Ka’bah, kemudian menyerukan keyakinannya secara lantang di hadapan mereka.
Abu bakar menyaksikannya dan berkata di dalam hati, “Demi Rabb Ibrahim, inilah kebenaran itu. Namun bagaimana dan kapan kami bisa menganutnya dengan yakin?”
Ketika ditanya mengenai Rabb yang ia sembah, Zaid selalu menjawab,”Aku menyembah Rabb Ibrahim.” Meskipun ia akui, ia tak tahu bagaimana cara beribadah kepada-Nya.
Lain lagi dengan Waraqah, ia selalu berpegangan pada Injil yang selalu ia pelajari. Dengah harapan akan menuntunnya kepada ajaran Ibrahim yang lurus.
Abu Bakar terus merindukan agama yang benar, kapankah datangnya sosok penuntun yang sebenarnya. Setumpuk kisah dan kenangan bersama orang-orang shalih di zamannya terus mengiang dalam ingatannya. Siapakah yang akan menyelamatkan agamanya kembali pada ajaran Ibrahim a.s.?
Di tengah kecamuk perasaannya, sebuah kejadian disajikan oleh Allah Swt di hadapannya. Ketika itu kaum Quraisy memperbaiki Ka’bah, namun setelahnya mereka bertikai mengenai siapa yang lebih berhak mengembalikan Hajar Aswad kembali ke tempatnya. Semua merasa paling berhak mendapatkan kehormatan tersebut. Akhirnya, diputuskanlah bahwa yang berhak memutuskan adalah orang yang pertama kali datang ke Masjidil Haram. Setelah menungguh dengan penuh tanya, ternyata yang datang pertama kali adalah Muhammad Al-Amin. Seorang yang terkenal jujur dan terpercaya.
“Tepat sekali, dia adalah sebaik-baik pemutus perkara dan sebaik-baik tempat untuk berlindung,” gumam Abu Bakar.
Muhammad kemudian menyelesaikan pertikaian tersebut dengan sangat cerdas dan bijak. Ia meminta sehelai kain dan ia letakkan Hajar Aswad di tengah-tengahnya, kemudian setiap kabilah diminta untuk memegang ujung kain dan mengangkatnya bersama-sama. Kaum Quraisy pun terbebas dari pertikaian dan peperangan yang hanya berpijak pada ego masing-masing. Abu Bakar menyaksikan di depan matanya, Muhammad telah mendamaikan kaum Quraisy.
“Qus bersumpah kepada Rabbnya bahwa takdir itu (kedatangan Rasul terakhir, pen.) akan tiba pada waktunya,”
Begitulah gumam Abu bakar ketika sesekali ia mengingat memori indah bersama Qus, Zaid dan Waraqah. Serta beberapa orang dari generasi sebelumnya seperti Umaiyah, Amir dan Mutalammis.
Hari berganti hari, pekan dan bulan pun berlalu. Pertanyaan tentang siapakah yang akan menjadi penyelamat ajaran Ibrahim terus mengganggu pikiran Abu Bakar. Setelah pulang berdagang dari Syam, Abu Bakar bersiap-siap pulang ke Mekah. Ia bermimpi bulan meninggalkan tempatnya menuju ufuk paling tinggi lalu turun di Mekah. Bulan itu kemudian terpecah menjadi beberapa bagian dan menyebar ke seluruh rumah-rumah di Mekah. Pecahan-pecahan ini kemudian menyatu kembali menjadi wujud bulan semula dan berada di pangkuan Abu Bakar.
Bergegas Abu Bakar menuju seorang Rahib yang ia percaya, lalu menceritakan mimpinya. Rahib tersebut berkata, “Hari-harinya sudah tiba!”
“Siapa yang kau maksudkan? Apakah Nabi yang kita nantikan?” Tanya Abu Bakar.
“Iya, dan kamu akan beriman bersamanya. Kamu akan menjadi orang yang paling bahagia mendapatkannya.” Jawab Sang Rahib.
Sungguh, mimpi dan penjelasan Rahib tersebut merupakan sebuah kebahagiaan bagi Abu Bakar. Abu Bakar semakin merindukan kampung halamannya.
Kafilah dagang terus berjalan siang dan malam, menembus dinginnya malam dan terik yang membakar.
Ketika kafilah dagang hendak memasuki Mekah, terdengar suara hiruk-pikuk di perbukitan. Suara itu menyampaikan berita-berita aneh.
“Tahukah kalian? Sejak kalian pergi, orang-orang Quraisy tak pernah tidur malam! Muhammad telah meletakkan bara api di hidung mereka. Dia bilang bahwa Allah mengutusnya agar kita hanya menyembah-Nya semata dan meninggalkan tuhan-tuhan kita!” Sekitar itulah kegaduhan tersebut.
Seseorang menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Abu Bakar. Abu Bakar sangat bahagia mendengarnya.
Saat memasuki pintu Mekah, kafilah disambut sekelompok orang yang dipimpin oleh Abu Jahal Amr bin Hisyam. Kemudian ia bertanya kepada Abu Bakar,
“Apa mereka sudah menceritakan kepadamu, wahai Atiq?”
“Maksudmu Muhammad Al-Amin?” tanya Abu Bakar.
“Ya, anak yatim Bani Abdul Muthallib itulah yang aku maksud,” jawab Abu Jahal.
“Apa kau mendengar apa yang ia katakan, wahai Amr bin Hisyam?” Abu Bakar kembali bertanya.
“Ya, aku mendengarnya dan orang-orang pun mendengarnya,” balas Abu Jahal.
Abu Bakar semakin penasaran,
“Apa katanya?”
“Ia berkata bahwa di langit ada Rabb. Rabb mengutusnya kepada kita agar kita menyembah-Nya dan meninggalkan apa yang disembah oleh nenek moyang kita,” jelas Abu Jahal.
“Apa dia (Muhammad, pen) mengatakan bahwa Allah memberinya wahyu?”
“Ya!”
“Apa dia tidak mengatakan bahwa Rabb berbicara langsung kepadanya?”
“Jibril mendatanginya di Gua Hira,” pungkas Abu Jahal.
Semburat kebahagiaan terpancar di wajah Abu Bakar. Kemudian dengan tenang dan yakin ia berkata,
“Jika dia bilang begitu, berarti dia benar!”
Kepercayaan Abu Bakar. Kepercayaan yang tidak datang begitu saja. Ia melalui sebuah proses berpikir. Berbagai informasi dan kejadian menyapanya, kemudian mengantarkannya pada sebuah keyakinan akan kebenaran utusan terakhir, yakni Muhammad Rasulullah Saw.
= Ary H. =
Sumber Bacaan :
Biografi Khalifah Rasulullah, Khalid Muhammad Khalid.

Komentar
Posting Komentar