Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Jika aku ceritakan kisah ini, putera-puteriku selalu tertawa dibuatnya. Kisah ini terjadi pada saat aku dan kakakku masih usia Sekolah Dasar. Aku biasa bermain dengan kakak dan adik sepupuku di rumah nenek dari ibu. Kebetulan rumahku dan rumah nenek tidak berjauhan. Meskipun beda kampung, hanya dipisahkan oleh jalan raya.
Aku dan sepupuku punya kebiasaan usil, tetapi jelas kebiasaan tersebut amatlah buruk. Aku dan sepupuku sering keliling-keliling kampung setiap malam, biasanya ba’da isya. Apa kebiasaan usil yang biasa kami lakukan? kebiasaan tersebut adalah mengetuk pintu-pintu rumah orang seperti hendak bertamu. Tetapi setelah mengetuk beberapa kali, kami pun langsung kabur melarikan diri. Seolah ada kepuasan tersendiri tatkala melihat orang membuka pintu dan celingukan mencari tamunya. Kegiatan ini kami beri nama “keketrok”, diambil dari kata “ketrok” (bahasa Sunda), yang artinya mengetuk. Sedangkan “keketrok” artinya mengetuk-ngetuk.
Pada malam itu, kami pun kembali mengulang kebiasaan usil kami. “Keketrok yuk!” ajak salah seorang adik sepupuku, namanya Devi. Saat itu, kami menganggapnya sebagai hiburan. Kami tak peduli orang lain terganggu atau tidak dengan aktifitas kami, yang penting kami senang. Akhirnya, setelah isya kami pun berkeliling mencari rumah sasaran. Kami keluar masuk gang, hampir setiap rumah kami ketuk pintunya. Lalu, kami pun berlari dan sembunyi.
Setelah satu kali keliling kampung, kami memutuskan untuk berhenti. Tetapi entah mengapa, keceriaan dan kesenangan menertawakan orang lain itu seolah menjadi candu. Setelah sebentar kami berhenti, kami pun ketagihan untuk mengulanginya lagi.
Untuk kedua kalinya kami keliling kampung, kami mengetuk setiap rumah yang kami lewati. Saat itu, setiap rumah belum berpagar besi, tidak seperti saat ini. Dari saat keliling yang pertama kali, kami sebetulnya sudah tahu rumah mana saja yang merespon ketukan pintu kami. Rumah itulah yang kami targetkan pada aktifitas “keketrok” yang kedua. Setelah keliling kampung, kami pun kembali ke tempat semula dengan gembira. Saling bercerita, menertawakan tuan rumah yang celingukan mencari tahu siapa orang yang mengetuk-ngetuk pintunya.
Melihat kami yang selalu kegirangan, setan yang terkutuk terus menggoda kami. Kami pun ingin mengulang kembali keusilan kami, kemudian merasakan kesenangan sebagaimana yang kami rasakan tadi. Setelah terjadi perdebatan antara kami, akhirnya kami sepekat untuk keliling kampung yang ketiga kalinya. Benar-benar keusilan dan keburukan yang tidak patut dicontoh.
Kami pun keliling mengetuk rumah-rumah untuk yang ketiga kalinya. Tentu ini juga semakin sedikit, hanya rumah yang merespon ketukan kami pada saat “keketrok” kedua. Ternyata keberuntungan tak selalu ada di pihak kami bertiga. Untuk yang ketiga kalinya ini, ternyata ada salah seorang tuan rumah yang telah siap-siap menyergap kami. Ketika kami mengetuk pintu rumahnya, tiba-tiba tuan rumah datang dari samping hendak menangkap kami. Kami pun langsung kabur.
Saat itulah aku dan adik sepupuku terus dikejar seraya diteriaki “Maliiing!” Tapi untung saja para warga sudah tahu bahwa kami bukan maling, tetapi anak-anak yang suka usil mengetuk pintu rumah orang. Warga yang menyaksikan kami dikejar-kejar hanya berteriak, “Ya benar, kejar terus biar kapok anak-anak itu”.
Meskipun kami tak tertangkap, tetapi yang mengejar kami sudah tahu ke rumah mana kami pulang. Akhirnya, esok harinya kami pun dimarahi para orang tua. Dari mulai ibuku, uwaku, bibiku semuanya memarahi dan menasihati kami. Sejak kejadian tersebut, aktifitas “keketrok” pun tak pernah kami ulangi lagi. Kami benar-benar kapok.

Komentar
Posting Komentar