(Sebuah Kisah Fiksi)
Hari Senin, hari yang biasanya penuh kesibukan. Tak terkecuali bagi seorang Abdul, sejak pulang dari masjid, ia langsung bersiap-siap. Sebagai seorang trainer, ia mesti tampil rapih dan prima di hadapan para pesertanya.
Hari Senin, hari yang biasanya penuh kesibukan. Tak terkecuali bagi seorang Abdul, sejak pulang dari masjid, ia langsung bersiap-siap. Sebagai seorang trainer, ia mesti tampil rapih dan prima di hadapan para pesertanya.
"Bu, kemeja biruku di mana ya?" Tanya Abdul kepada istrinya, sambil mondar-mandir kesana-kemari.
"Yang mana Pak?" Tanya Sang Istri.
"Itu bu, yang baru beli minggu kemarin? Masak sih ibu lupa, kan belinya juga sama ibu?" Jawab Abdul.
"Cepat dicari ya Bu! Tempat training hari ini cukup jauh, Bapak butuh waktu!" Lanjutnya. Ia mulai kesal.
"Iya pak, ini kan sedang Ibu cari. Mengapa sih ga dari tadi malam mempersiapkannya?" Tanya istrinya, seraya terus memeriksa isi lemari. Tapi kemeja yang dicari tetap saja tidak ketemu.
"Ibu kan tahu sendiri, kemarin kan Bapak sibuk kajian dan mengikuti kegiatan keislaman sampai malam!" Jawabnya.
"Harusnya ibu kan yang mempersiapkan. Kemarin kan ibu libur, harusnya bisa mempersiapkan kemeja Bapak!" Ujar Abdul dengan ketus.
"Bapak ini, ibu kan kemarin juga ada acara dan rapat persiapan kegiatan training keislaman. Kan kegiatan dakwah juga." Jawab Sang Istri.
"Astaghfirullah Pak, kemejanya ketemu, tapi masih di cucian!" Teriak Sang Istri.
"Maafin Ibu ya Pak, Bapak pakai kemeja yang lain dulu!" Pinta Sang Istri dengan nada memelas.
"Ibu ini, gimana sih! Kemeja Bapak yang lain kan sudah mulai lusuh? Kata Bapak juga, kalau mau kegiatan di luar rumah, lihat dulu kegiatan di dalam rumah! Itu kan tugas Ibu!" Abdul mulai morang-maring. "Tugas utama ibu itu di rumah, ingatlah! ibu akan dihisab jika mengabaikan tugas utama ibu di rumah," jelas Abdul.
"Maafin Ibu Pak, tetapi kemeja yang ada di lemari juga Ibu lihat masih bagus kok Pak," tegas Sang istri.
"Cuci saja sekarang Bu! Bapak tunggu saja. Ibu ini gimana sih, ga bisa mengatur waktu!" Ketus Abdul, ia terus saja menyalahkan Sang istri.
"Iya, baiklah Pak!" Jawab Sang istri seraya menuju kamar mandi.
Tapi, tak lama Sang istri kembali lagi.
"Pak, kayaknya ga bisa mencuci pakaian sekarang," ujar Sang istri.
"Mengapa Bu? Alasan apa lagi?" Abdul terus saja emosi.
"Ibu baru ingat, kita ga punya sabun cuci Pak, kemarin ibu mau belanja. Tapi ibu benar-benar ga ada uang.
"Ibu juga baru ingat, pagi ini juga belum bisa masak karena gasnya habis," jelas Sang istri.
Abdul pun terdiam, ia memang ada uang di sakunya. Tetapi itu hanya cukup untuk ongkos ia pergi ke tempat training. Mungkin pas pulang, ia baru bisa ada uang.
"Pinjam dulu dong bu, bapak kan baru ada uang nanti pas pulang," ucap Abdul dengan nada suara mulai pelan.
"Pinjam ke mana Pak? Bapak kan tahu sendiri kalau ibu tak berani berutang!" Jawab Sang istri.
"Ibu kan sudah bilang. Kalau Bapak harus cari tambahan kerjaan lain. Mengisi training dengan jadwal yang tidak menetap, sudah tidak cocok lagi dengan kebutuhan yang semakin meningkat. Anak-anak juga bertambah besar. Tugas Bapak kan harus menafkahi istri dan anak dengan layak," jelas Sang istri dengan pelan.
"Bapak juga perlu tahu, mengapa Ibu kemarin seharian di luar rumah. Karena Ibu belajar membuat proposal, ibu berkali-kali minta diajari ke Bapak, tetapi Bapak sibuk terus," jelas Sang istri.
Abdul terdiam. Ia mulai merenungi setiap perkataan istrinya.
"Bukankah mendidik istri juga merupakan tugas seorang suami?" Tanya Sang istri, seraya melihat ke wajah suaminya.
Sang istri tak menyangka, ia melihat lelehan air mata di kedua sudut mata Abdul. Abdul pun langsung terduduk di kursi. Melihatnya, Sang istri pun terdiam dan tak melanjutkan ucapannya.
Sang istri sadar, ia telah berbuat lancang kepada suaminya. Ia telah menyakiti hati suaminya. Ia berpikir, bagaimana kalau suaminya tidak ridlo terhadapnya, padahal keridloan Allah Swt terletak pada keridloan seorang suami. Setelah lama terdiam, ia pun memberanikan bicara.
"Maafkan Ibu, Pak! Ibu telah lancang kepada Bapak," ucap Sang istri.
"Ga apa-apa Bu! Bukan itu yang membuat Bapak menangis," jawab Abdul.
"Jika bukan perkataan Ibu, lalu apa yang membuat Bapak bersedih?" Tanya Sang istri kemudian.
Abdul hanya terdiam, bibirnya seakan berat untuk berucap. Namun, tak lama kemudian ia berkata dengan nada yang pelan, jauh sekali dari nada bicaranya saat mencari kemeja barunya.
"Di dunia saja kita sudah saling menuntut, apalagi di akhirat kelak. Dimana setiap manusia akan lari dari saudaranya, ibu dan ayahnya, istri dan anaknya. Karena setiap kita akan sibuk dengan urusan berat kita masing-masing." Jelas Abdul seraya menyeka air matanya.
Mendengar jawaban suaminya, Sang istri pun lalu terdiam. Ia tak kuasa menahan deras air matanya, lalu ia pun terduduk di samping suaminya.
(T A M A T)

Komentar
Posting Komentar