Langsung ke konten utama

Secercah Hidayah di Surau Sekolah

 

Sumber Photo : kuburayaonline[dot]com (photo hanya ilustrasi)
“Teeet....!” Bel sekolah berbunyi.
                Siswa dan siswi SMA Sambongpari Kota Tasikmalaya berhamburan keluar, tak terkecuali Dadan.
                “Aduh, panas sekali hari ini!” Keluhnya. “Tapi, ndak apalah, ada Nasi Padang kesukaanku menanti di rumah, “ ia menghibur dirinya.
Tak terasa, air liurnya hampir saja menetes, membayangkan Nasi Padang kesukaannya. Suasana yang panas terik seakan langsung menjadi adem. Musim kemarau belakangan ini membuat cuaca di Kota Resik menjadi jauh lebih panas dari biasanya.
                Dadan langsung menuju ke halaman sebelah barat sekolah. Tempat ia biasa menyimpan sepedanya. Sesaat sebelum beranjak pergi dengan sepeda merahnya, tiba-tiba terdengar seseorang memanggil.
“Hei..., hei...!”
Dadan berhenti, menolehkan wajah ke arah orang yang memanggilnya.
“Oh, ya. Kamu memanggilku?” Tanya Dadan. Kedua alisnya mengangkat dengan dahi mengerut.  Terlihat di hadapannya seorang siswa yang berpakaian sangat rapih.
Belum sempat siswa tersebut menjawab. Dadan masih bertanya lagi.
“Ada perlu apa Rif?” Lanjut Dadan. Ia memang mengenali siswa tersebut, karena ia teman satu kelasnya.
“Iya, manggil kamu dong Dan.“ Jawab Arif. “Tak kirain kamu belum kenal aku?” Tanya Arif dengan penuh senyuman.
“Masa sih aku ga kenal kamu.” Jawab Dadan dengan membalas senyuman Arif.
“Kamu kan yang kemarin ikut lomba pidato SMA tingkat Kota Tasikmalaya itu kan?” Tanya Dadan.
“Masa ga kenal, kan beberapa kali kamu dipanggil keluar kelas oleh Pak Randi.” Jelasnya.
“Oh iya ya...,” Jawab Arif malu-malu. Ia tak menyangka, jika siswa pendiam ini mengenali dirinya.
“Pak Randi memanggilku berkali-kali untuk latihan pidato di ruang guru”, Arif melanjutkan ucapannya.
“Terus gimana, menang lomba pidatonya?” Tanya Dadan penasaran, seraya kembali berjalan pelan sambil mendorong sepedanya.
Dengan tersenyum lebar, Arif menjawab, “Alhamdulillah, dapat pengalaman berharga.”
Arif berjalan mengiringi Dadan.
“Juara berapa?” Dadan penasaran.
“Belum...” Arif berhenti sejenak. “Peserta lain banyak yang jauh lebih bagus dariku. Tapi aku senang kok.” Jelas Arif.
“Ga juara kok senang...” Dadan menimpalinya dengan agak ketus.
Arif tersenyum, lalu berkata, “Dan, Allah Swt itu tidak hanya melihat hasil. Tetapi Ia juga menilai prosesnya.”
Dadan termenung dengan penjelasan Arif, ia belum memahaminya.
“Maksudnya gimana Rif?” Obrolan mereka semakin akrab, Dadan seakan mulai lupa dengan Nasi Padangnya.
“Iya, dalam pandangan manusia, apa yang aku lakukan mungkin tidak ada hasilnya.” Jawab Arif. “Tetapi selama aku menjalani proses persiapan, latihan kemudian pidato ketika lomba. Allah pasti melihatnya.” Lanjutnya.
Dadan mendengarkan ucapan Arif dengan seksama.
“Dan InsyaAllah, Allah yang akan menilainya. Adapun hasil, itu sudah merupakan Taqdir.” Jelas Arif. “Kita harus qonaah” Lanjutnya. Tangan Arif mulai beraksi, bak Pak Randi ketika menjelaskan materi Pelajaran Agama Islam.
“Wah..ga ngerti aku. Apa itu taqdir dan qonaah” Dadan mengernyitkan dahi, pertanda ia serius menyimak. Ingin sekali ia banyak berbicara dengan Arif, tapi perutnya mulai terasa lapar.
“Eh, tapi kamu tadi manggil aku untuk apa?” Tanya Dadan kembali ke pencetus obrolan akrab mereka.
“Oh iya ya,” Kata Arif sambil garuk-garuk dan tersenyum. “Besok, Rohis mau mengadakan acara pengajian dalam rangka menyambut Tahun Baru Islam. Kamu hadir ya?” Arif bertanya sambil memegang pundak Dadan. Anak ini memang suka sok akrab, tetapi biasanya orang suka luluh dengan ajakannya.
“Kamu kan belum aktif di eks kul manapun. Ayolah, bantu-bantu di Rohis.” Arif melanjutkan ajakannya.
“Deg !”, Jantung Dadan serasa berhenti berdetak. Dadan tiba-tiba terdiam. Ia malah mempercepat langkah menuju gerbang sekolah.
“Kenapa kamu tiba-tiba diam Dan?” Arif keheranan. “Aku minta maaf ya, jika ada kata-kataku yang menyinggungmu.” Arif menjadi kikuk dengan perilaku Dadan.
“Ga, ga apa-apa kok Rif.” Jawab Dadan singkat.
Arif semakin penasaran, “Oh ya sudah jika ga ada apa-apa, tapi kamu bisa hadir kan?” Tanya Arif.
“Eh...eh...” Mulut Dadan terkatup kelu. Serasa berat untuk berucap. Tetapi obrolan akrab mereka sedari tadi, membuyarkan keraguan Dadan untuk menjawab pertanyaan Arif.
“Aku sebetulnya malu.” Jawab Dadan pelan.
“Malu kenapa Dan?” Arif semakin penasaran.
“Aku...aku....” Lidah Dadan terasa keras, tenggorokannya pun laksana tersekat benda padat. Dengan sangat pelan, Dadan menjelaskan berkata : “Aku tidak bisa membaca Al Quran.”
Wajah Dadan memerah, tampak sekali ia malu karena pengakuannya.
Arif mengerti dengan kondisi lawan bicaranya. Ia pun berusaha membesarkan hati Dadan.
“Oh, besok itu hanya acara pengajian kok Dan.” Jelas Arif. “Tidak ada tes baca tulis Al Quran. Lanjutnya sambil mengusap-usap punggung temannya. Dengan tersenyum, Arif melanjutkan penjelasannya,
“Kita hanya duduk dan mendengarkan saja kok Dan. Tidak lebih dari itu.” Ucap Arif.
“Jadi, kamu bisa hadir ya?” Tanya Arif kembali.
“Beneran Rif, tidak akan disuruh membaca Al Quran?” Dadan seolah tidak percaya.
“Insya Allah, pasti tidak ada. Aku jamin. Kan aku ketua panitianya.” Jawab Arif.
Dadan sebetulnya tetap malu untuk hadir. Karena, selain tidak bisa membaca Al Quran. Ia juga sudah lupa kapan terakhir ia melaksanakan shalat. Seingatnya, ia terakhir shalat pada saat akan diwisuda TPA, sekitar 5 tahun yang lalu, itu juga karena acaranya di samping masjid. Sehingga, banyak sekali bacaan-bacaan shalat yang sudah ia lupakan. Akan tetapi, ia tidak enak juga jika harus menolak ajakan Arif. Masa untuk duduk dan mendengarkan saja ia tidak mau hadir.
Melihat temannya kebingungan, Arif lalu berkata, “Dan, semua manusia itu menjalani proses. Dan Allah Swt pasti menilai semua prosesnya.”
Kata-kata ini bukan datang dari seorang Jamil Azzaini atau seorang Mario Teguh, yang sering menjadi motivator di acara-acara training tingkat nasional. Tetapi, tutur kata Arif yang tenang membuat kalimat itu serasa penuh makna. Hati Dadan pun luluh untuk menerima ajakan Arif.
“Iya deh, aku pasti hadir.” Jawab Dadan. “Tapi...” Lanjutnya dengan ragu.
“Tapi apa Dan?” Tanya Arif.        
“Beneran tidak akan disuruh membaca Al Quran ya?” Tanya Dadan belum yakin.
“InsyaAllah..., tidak akan, aku jamin....” Arif menjawabnya dengan penuh keyakinan.
======
Semakin malam suara detak jam dinding semakin jelas terdengar. Kedua mata Dadan tetap saja sulit terpejam.  Padahal sudah berkali-kali ronda berkeliling seraya memukul kentongan, pertanda malam sudah sangat larut.
                "Duh ! Mengapa mata ini sulit sekali terpejam?" Ujarnya dalam hati. Semakin ia memejamkan matanya, pikirannya malah semakin terjaga.
                "Perutku begah lagi, ga enak begini. Apa karena Nasi Padang yang ku santap tadi siang ya?" Ia terus bertanya-tanya.
                Padahal ia sering menyantap Nasi Padang kesukaannya, perutnya belum pernah bermasalah karenanya. Pikirannya terus berkecamuk. Ia berbalik badan seraya memeluk gulingnya. Kakinya terasa pegal, gelisah tak karuan rasanya. Diluruskan ga enak, ditekuk pun ga nyaman. Ia pun mencoba membalik bantalnya, tetap saja tak dapat terlelap.
                "Aduh bagaimana ini, mana esok harus masuk sekolah lagi", gerutunya. "Apa aku tegang karena undangan acara pengajian Rohis itu ya?" Ingatnya.
                 “Kalau begitu, besok aku harus kabur duluan ah,“ gumam Dadan. “Lagian acaranya juga dimulai sehabis Dzuhur.” tambahnya.
                Lama kelamaan hati Dadan pun menjadi tenang. Ia pun tertidur setelah lewat jam satu dini hari.
---------------------------
                Tidak pagi ini saja Dadan bangun kesiangan. Jika ada siaran langsung klub sepak bola kesayangannya pun, ia sering begadang. Karena itulah, ia sudah lihai mengatasinya. Ia tidak mandi, tetapi hanya mencuci muka, tangan dan kakinya. Kemudian sedikit mencuci ketiaknya dengan sabun mandi. Langsung berseragam lalu mengayuh sepedanya menuju sekolah.
                Selama di sekolah, Dadan menghindari pembicaraan dengan Arif. Sampai tibalah jam pelajaran ke enam, menjelang istirahat keduaDadan terus saja membolak-balikan pulpen yang dipegangnya. Posisi duduknya pun terus berganti miring kanan dan kiri, ia berharap ingin segera meninggalkan sekolah.
                “Duh, tumben ini Bu Lina, biasanya dia selesai sebelum bel istirahat berbunyi,” keluhnya dalam hati. Biasanya, Bu Lina bahasa Indonesia memang keluar kelas lebih cepat dari waktu istirahat. Tetapi, tidak demikian dengan hari ini.
                “Teeet ! Saatnya istirahat kedua !” Bel SMA Sambongpari pun berbunyi.
                Riuh respon para siswa mendengar bel istirahat, membuat suara Bu Lina semakin tidak terdengar. Bu Lina hanya tersenyum. Seraya membereskan bukunya, ia pun berpesan, “Anak-anak, dikarenakan Bapak dan Ibu Guru ada rapat persiapan UTS, maka pembelajaran hari ini dilanjutkan di rumah ya..!”
                “HOREEE ! ASYIIK !” hampir semua siswa berteriak kegirangan. Namun tak demikian dengan Dadan. Ia melirik ke arah Arif, ia ingin memastikan Arif tidak memperhatikannya.
                “Sebentar....sebentar dulu anak-anak, “ Bu Lina mulai agak berteriak di tengah kegaduhan para siswa yang kegirangan.  “Dengarkan dulu!” Ucapnya seraya memberi isyarat dengan kedua tanganya. “Hari ini ada pengajian Rohis. Bagi kalian yang ada waktu, Ibu berharap kalian bisa mengikutinya, “ ajak Bu Lina.
                “Tuh ketua Rohisnya saja ada di sini,” kata Bu Lina seraya menunjuk Arif.
                Semua siswa memandang Arif. Merasa menjadi pusat perhatian, Arif hanya tersenyum. Tetapi, tidak demikian dengan Dadan, ia malah semakin menundukkan pandangannya ke arah meja yang ada persis di depannya. Seakan pura-pura tidak mendengar perkataan Bu Lina.            
                 “Terima kasih atas perhatian dan partisipasi kalian dalam pembelajaran, mohon maaf bila ada salah, ketemu lagi minggu depan,“ ucap Bu Lina seraya menatap seisi kelas. Setelah mengucapkan salam, beliau pun keluar meninggalkan kelas.
                Para siswa berhamburan keluar kelas. Dadan tetap duduk terdiam di kursinya, ia memperhatikan Arif yang terlihat buru-buru meninggalkan ruangan. “Aku beruntung, Arif pergi duluan,“ gumamnya.
                Dadan tersenyum kegirangan, wajahnya cerah dengan mata berbinar senang. Seakan terlepas dari beban yang sedari kemarin menggelayuti pikirannya. Sebagaimana biasanya, Dadan langsung menuju halaman sebelah barat sekolahnya. Ia segera mendorong sepedanya menuju gerbang sekolah. Wajahnya terus saja lurus ke arah gerbang. Entah kenapa, gerbang yang hanya berjarak 50 meteran dari halaman barat sekolahnya, kali ini terasa sangat jauh. Matanya hanya fokus memandang gerbang yang ditujunyaIa tak memperhatikan setiap orang yang berpapasan dengannya.
“Dan, mau kemana?” Tiba-tiba terdengar seseorang menyapanya. Bagaikan disambar geledek di siang bolong. Dadan sungguh mengenali suara tersebut, yang tiada lain adalah Arif. Terlihatlah Arif sedang mengangkut meja persis di hadapannya.
Dadan belum sempat menjawab, namun Arif bertanya lagi, “Katanya mau ikut pengajian?”
                Saking malunya, ingin sekali Dadan menutupi seluruh wajahnya dengan tas bututnya. Atau ia kabur melaju sepedanya dengan kecepatan 100 km per jam. Kabur seketika dari tempat itu. Wajah Dadan memerah, mulutnya terkatup di antara senyum yang tertahan.
                “Eh..., Arif...,” Jawab Dadan. “Ini, Ayahku memintaku untuk langsung pulang,“ Kilah Dadan. Ia berbohong untuk menutupi ingkar janjinya. Padahal tak sedikit pun Ayah berpesan kepadanya untuk segera pulang.
                Arif sangat mengerti kecanggungan temannya. Meskipun temannya telah terbukti mengingkari janjinya, tak sedikit pun ia menampakkan kekecewaan di wajahnya. Ia tetap tersenyum, dengan keringat mengucur dari kedua dahinya.
“Oh gitu, sayang sekali ya...” Jawab Arif seraya menurunkan meja dari atas pundaknya.
                “Padahal pengajiannya tidak akan  lama kok, paling juga maksimal sekitar 1 jam-an,” jelas Arif.
                Dadan diam sejenak, kemudian berkata, “Duh gimana ya Rif, kasihan ayahku, nanti ia ga ada yang bantu.” Dadan sangat berharap, alasan membantu ayah pasti bisa meluluhkan hati Arif. Padahal, dari sejak ayahnya membuka usaha cuci motor, ia tak pernah membantunya sama sekali.
                 “Iya ya..., kasihan juga beliau,” Jawab Arif.
                Meskipun ada keraguan dan ketidaktegaan di hati Dadan saat mendengar respon Arif, tetapi ia merasa senang. Pikirnya, ia telah sukses mengelabui temannya. 
“Iya Rif, kasihan ayahku, mungkin lain kali ya..? kata Dadan.
                 “Iya deh ga apa-apa Dan, lain kali saja,“ Jawab Arif. “Hati-hati di jalan Dan, santai saja bawa sepedanya!” lanjut Arif.
                Arif menyodorkan tangan kanannya, mengajak Dadan bersalaman. Seranya berkata, Salam ya untuk ayahmu. Semoga kita bisa menjadi amal jariyah untuk kedua orang tua kita, Assalamu’alaikum!”
Dadan menepis semua keraguannya. Seraya menjawab, “wa ‘alaikum salam...”, sambil menyambut tangan Arif yang sudah menunggu.
“Maksud perkataanmu barusan apa ya Rif?” Tanya Dadan sebelum melepaskan tangan temannya. Sepertinya ada sesuatu yang membuat ia penasaran.
                “Perkataanku yang mana?” Arif malah balik bertanya.
“Itu tuh menjadi amal jariyah untuk orang tua kita?” jawab Dadan.
                “Oh itu, maksudku adalah menjadi anak shalih yang selalu mendo’akan orang tua kita,“ Jawab Arif.
Arif terdiam sejenak, kemudian melanjutkan penjelasannya.
“Amal jariyah itu adalah amal yang pahalanya akan terus mengalir, meskipun orangnya sudah wafat sekalipun. Amal jariyah ada tiga, ilmu yang bermanfaat, shadaqoh jariyah dan anak shalih yang selalu mendo’akan kedua orang tuanya.” Jelas Arif.
“Kita sama-sama tahu diri. Sebagai anak, tentu kita belum dan bahkan tidak bisa membalas semua pengorbanan orang tua kita.” sambungnya.
                Dadan mulai menyimak penjelasan Arif dengan seksama. “Laludengan apa kita membalas mereka Rif?” Dadan semakin penasaran.
                “Tentunya, dengan menjadi anak shalih yang selalu mendo’akan mereka,” jawab Arif dengan mantap.
                Bagaimana caranya itu Rif?” Dadan bertanya lagi.
                Arif tidak langsung menjawab pertanyaan Dadan. Ia pun melepaskan jabatan tangannya, kemudian merangkul bahu Dadan seraya menepuknya pelan. Kemudian menatap wajah Dadan dengan penuh senyuman.
Arif lalu berkata,“InsyaAllah, caranya dengan kita  taat sepenuhnya kepada Allah. Kemudian berdo’a memintakan ampunan dan kebaikan untuk kedua orang tua kita.”
                Dadan pun diam termenung, apa yang disampaikan Arif ini seolah baru saja ia dengar. Selama ini ia hanya berpikir bahwa hanya uanglah yang bisa kebaikan kebaikan orang tuanya. Karena itulah, ia bermimpi bisa kerja di tempat yang enak dengan gaji yang tinggi. Kemudian, ia bahagiakan ayahnya yang setiap hari membanting tulang untuknya.
“Sudah dulu ya Dan, kasihan ayahmu di rumah menunggu.” ucap Arif memecah kesunyian. “Jangan lupa, salam buat ayahmu ya..., nanti kapan-kapan aku mampir ke rumahmu, “ lanjutnya.
                “Eh iya Rif, makasih ya atas ilmunya,” jawab Dadan.
                Arif tersenyum, lalu berkata, iya, sama-sama, assalamu’alaikum...”.
Setelah mengucapkan salam yang kedua kalinya, Arif langsung mengangkat kembali meja yang tadi ia turunkan sejenak.  
                “Wa ‘alaikum salam..”, Jawab Dadan seraya menatap Arif yang pergi meninggalkannya.
Dadan pun mengayuh sepedanya menjauhi gerbang sekolah.
                Sepanjang perjalanan Dadan terus saja berpikir, ada sesuatu yang mengusik pikirannya.
                “Arif...Arif, sungguh polos sekali sikapmu,“ Gumam Dadan. “Tetapi, mengapa aku mesti berdusta ya?” Dadan bertanya berkali-kali di dalam hati.
Di tengah kayuhan sepedanya, hati Dadan terus saja dipenuhi pertanyaan atas sikap dirinya sendiriSampai-sampai terbersit sebuah pertanyaan, sampai kapan ia akan menghindari ajakan Arif. Padahal selama ini ia sering merasakan kegelisahan dalam hidupnya. Pikirannya terus saja menerawang. hingga ia tak lagi fokus ke jalan yang sedang dilaluinya.
“TEET !” Sebuah klakson mobil mengagetkannya. “Sialan Lu ! Naik sepeda makin ke tengah saja!” umpat pengemudi mobil truk tak bermuatan yang melaju kencang.
Dadan sungguh kaget, sepeda yang dinaikinya langsung oleng ke arah selokan pinggir jalan. Tapi, untung saja ia masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya. Jantung Dadan berdegup kencang, wajahnya putih memucat pasi seakan darah di wajahnya hilang menguap. Sungguh ngeri membayangkan jika dirinya tersenggol truk yang melaju kencang tadi.  
Dadan diam sebentar, ia masih memegang sepedanya. Termenung di pinggir jalan, ia semakin teringat setiap perkataan Arif. Bagaikan menyusun puzzle, pikirannya menyusun setiap langkah perjalanan hidupnya. Dadan terus saja berpikir.
“Selama ini aku selalu merepotkan orang tuaku,” pikirnya.
“Bagaimana aku bisa beramal jariyah untuk mereka, sedangkan aku selalu menjauhi agama?” Tanyanya dalam hati.
Susunan puzzle pengalaman hidupnya ia susun dalam benak. Termasuk kejadian yang barusan hampir mencelakainya. Lalu, ia berkata, “Aku harus berubah! Kapan lagi jika bukan sekarang, mumpung aku belum mati !”
Di tengah perhentiannya itu, Dadan lalu memutar sepedanya kembali ke arah sekolah. Seraya berucap mantap, “Bismillah!”
-------------------------------------

Komentar

Populer di Blog Ini

Agar Cinta Menulis

Mencintai pekerjaan adalah sesuatu hal yang sangat penting, begitulah pandangan keumuman kita. Bahkan, keahlian seseorang seringkali dihubungkan dengan kecintaannya pada suatu pekerjaan. Mencintai terlebih dulu pekerjaannya, barulah ada garansi untuk menjadi ahli karenanya. Dunia menulis pun tak luput dari pandangan tersebut. Untuk menjadi penulis, biasanya kita menghubungkannya dengan kecintaan seseorang terhadap aktifitas menulis. Misal, ketika seseorang suka menulis sedari kecil, disimpulkanlah bahwa ia berbakat menjadi seorang penulis. Benarkah mesti demikian adanya? Penulis tidak membantah adanya kesukaan seseorang terhadap menulis sedari kecil. Mungkin memang benar demikian adanya. Penulis pun tak menampik bahwa mencintai menulis adalah sesuatu yang penting. Karena, cinta menulis akan membuat kita enjoy bersamanya. Namun, penulis kurang setuju jika cinta menulis merupakan bakat bawaan sedari lahir. Sehingga, ia tak bisa disemai dan ditumbuhkan. Ada dua hal pokok yang b...

Mengawal Gerakan Literasi

sumber gambar : literasi[dot]jabarprov[dot]go[dot]id. Geliat aktifitas literasi dan kepenulisan generasi muslim belakangan ini memang begitu menggairahkan. Hal ini seolah memberikan banyak harapan dan angin segar kebangkitan. Apalagi dengan berbagai kemudahan fasilitas berkarya dan memublikasikannya. Geliat ini bukan sekedar isapan jempol. Karena sebuah tulisan, konon bisa memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih lama dibandingkan sebuah ucapan. Sehingga sangatlah besar ekspektasi terhadapnya; geliat kepenulisan generasi muslim akan menghantarkan pada geliat kebangkitan Islam.    Sebagaimana aktifitas membaca, sebenarnya aktifitas menulis tidaklah akan menghantarkan pada kebangkitan masyarakat. Karena pada hakikatnya, membaca dan menulis hanyalah bagian dari sarana penyerapan dan penyampaian informasi. Informasi tersebutlah yang akan disimpan sebagai pemikiran di dalam otak kemudian pandangan hidup (aqidah) yang dimiliki setiap insan akan menentukan apakah pe...

Langkah Praktis Menulis Via Blog Mulai dari Nol

Rekan-rekan semua, berikut akan saya paparkan bagaimana tips praktis membuat blog dengan blogger. Mari kita ikuti langkah-langkah berikut : Bagi yang belum punya email, masuk ke  www.gmail.com Pilih  Buat akun   Isi formulir pada tampilan berikut dan ikuti langkah sampai konfirmasi bahwa email sudah aktif.   Jika email sudah aktif, silahkan masuk ke  www.blogger.com Klik  Tambahkan Akun  pada tampilan berikut : Setelah muncul tampilan di bawah ini,  Masukkan email rekan-rekan semua, sebagai contoh saya masukkan email saya ary.smknkadipaten@gmail.com, klik berikutnya, lalu isikan password email rekan-rekan semua. Pilih Buat Profil Google+ lalu ikuti langkah selanjutnya (saya sarankan memakai identitas sesuai KTP, karena kita sedang membuat kartu nama di dunia maya). Sampai muncul seperti di bawah ini atau yang semisalnya (mungkin tampilan berbeda-beda tergantung lengkapnya langkah yang diambil). Lalu, pilih  Lanjutk...

Total Tayangan