Yang dimaksud Al Hakim adalah
- Pemilik kekuasaan yang menerapkan hukum untuk mengatur urusan kehidupan manusia seperti kepala negara yang menerapkan hukum untuk rakyatnya.
- Yang memiliki wewenang untuk menetapkan hukum atas perbuatan dan benda yang digunakan. Yang dimaksud dengan menetapkan hukum adalah menentukan posisi manusia di hadapan perbuatannya. Apakah ia harus mengerjakannya atau harus meninggalkannya atau boleh memilih antara mengerjakan dan meninggalkannya. Begitu pula menentukan hukum benda yang terkait dengan perbuatan manusia. Apakah boleh digunakan ataukah tidak, atau boleh memilih antara menggunakannya atau tidak menggunakannya. Makna kedua inilah yang dimaksud dalam tulisan ini.
Al Hakim (Pembuat Hukum) atas Perbuatan dan Benda
Sesungguhnya penentu hukum atas perbuatan dan benda, dari segi pujian dan celaan, adalah Allah Swt semata dan bukan manusia. Yakni berdasar pada hukum syara' bukan berdasarkan akal manusia. Tidak boleh menjadikan hukum bersumber pada pujian dan celaan yang bersandar pada kecenderungan manusia. Dalil atas hal ini terdapat secara aqli dan naqli.
Dalil Aqli
Bahwasanya hukum atas perbuatan dan benda dari segi hasan (terpuji) dan qabih (tercela) bisa dipandang dari 3 arah :
- Dari segi fakta perbuatan dan bendanya.
- Dari segi kesukaan dan kebencian, sesuai fitrah manusia
- Dari segi pujian dan celaan di dunia serta janji pahala dan ancaman siksa di akhirat kelak atas perbuatan dan pemanfaatan benda.
Untuk yang pertama dan kedua, pada dasarnya manusia dengan indera dan akalnya bisa menentukan hukum atas perbuatan dan benda. Oleh karena itu, akal bisa menentukan terpuji dan tercela atasnya.
Misal, rasa manis itu terpuji (karena disukai) dan rasa pahit itu tercela (karena dibenci). Kemudian ilmu dan kekayaan itu terpuji sedangkan kebodohan dan kefakiran itu tercela dan sebagainya.
Begitu pula dengan menolong orang yang tenggelam itu terpuji dan merampas harta secara zalim itu tercela dan sebagainya. Oleh karena itu, akal mampu memutuskan dari arah pandang pertama dan kedua.
Hanya saja akal tidak akan pernah mampu menentukan dari arah pandang yang ketiga. Yakni dari segi pujian dan celaan di dunia serta dari segi adanya pahala dan siksa kelak di Akhirat sebagai konsekwensi perbuatan dan pemanfaatan benda. Yang bisa menetapkan hal ini hanyalah Allah Swt.
Oleh karena itu, terpujinya Iman dan tercelanya kufur, terpujinya taat dan tercelanya maksiat, semua itu tidak bisa bersumber pada akal manusia.
Akal hanya bisa memindahkan penginderaan fakta ke dalam otak, lalu menetapkan hukumnya berdasarkan informasi sebelumnya (yang tersimpan di dalam otak).
Bahwasanya mustahil bagi akal untuk menentukan hukum atas sesuatu yang tidak bisa terindera seperti menetapkan hidayah dan kesesatan, halal dan haram, ketaatan dan kemaksiatan, dan sebagainya.
Akal tidak akan mampu menakar apakah perbuatan dan pemanfaatan benda itu diridloi atau dimurkai oleh Allah ataukah tidak. Begitu pula akan berpahala ataukah berdosa. Terkecuali apabila ada kabar mengenai hal tersebut berdasarkan apa yang diturunkan oleh Allah Swt.
Wallahu a'lamu bishshawwaab.
=======
Disarikan dari kitab Al Mukhtar fi Ushuli al Fiqhi, karya Al Ustadz Rokhmat Labib hafizhohullohu ta'ala.

Komentar
Posting Komentar