Kaum muslim melaksanakan seluruh hukum syara dan seluruh hukum syara diterapkan oleh negara atas mereka tanpa terkecuali. Mereka pun disanksi ketika meninggalkannya. Adapun kaum kafir maka rinciannya sebagai berikut :
Pertama
Pelaksanaan hukum yang berasal dari diri mereka sendiri tanpa adanya paksaan (negara). Hal ini terbagi dua, yaitu:
A. Hukum-hukum yang disyaratkan keislaman oleh nash syara dalam pelaksananaannya. Seperti haji, berdasarkan firman Allah Swt
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِنَّمَا ٱلْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا۟ ٱلْمَسْجِدَ ٱلْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَٰذَا ۚ
"Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini."(TQS. At Taubah: 28)
Begitu pula shalat, zakat, puasa dan seluruh aktifitas ibadah. Maka orang kafir tidak diperbolehkan dan dilarang melaksanakannya. Seperti itu pula hukum orang kafir menjadi pemimpin atas kaum muslim, berdasarkan firman Allah Swt
وَلَن يَجْعَلَ ٱللَّهُ لِلْكَٰفِرِينَ عَلَى ٱلْمُؤْمِنِينَ سَبِيلً
"dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (TQS. An Nisa : 141)
B. Hukum-hukum yang tidak disyaratkan keislaman dalam pelaksanaannya, seperti kaum kafir ikut berperang bersama pasukan kaum muslim. Di antara dalil yang menunjukkan kebolehan meminta bantuan kaum musyrik adalah bahwa Quzman pergi berperang bersama pasukan Nabi Saw pada saat perang Uhud, padahal ia adalah orang musyrik. Ia membunuh 3 orang pengibar bendera pasukan musyrik dari Bani Abduddar. Rasulullah Saw bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ لَيُؤَيِّدُ هَذَا الدِّينَ بِالرَّجُلِ الْفَاجِرِ
"dan Allah bisa jadi menolong agama ini melalui seorang pendosa." (HR. Bukhari)
Mencakup muslim dan kafir.
Ibnu Al Mulaqqin Asy Syafi'i berkata: "Di dalam hadits ini ada kebolehan meminta bantuan kepada orang musyrik untuk memerangi orang kafir. Ini merupakan pendapat mazhab kami. Ibnu Hubaib juga telah membolehkannya.
Begitu pula sebagaimana bolehnya kesaksian orang kafir dalam masalah harta, berdasarkan firman Allah Swt :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ شَهَٰدَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ حِينَ ٱلْوَصِيَّةِ ٱثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِّنكُمْ أَوْ ءَاخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنتُمْ ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi." (TQS. Al Maidah: 106)
Frasa "Minkum" berarti dari kalangan umat Islam. Adapun frasa "Au akhoroni min ghoirikum" berarti dari selain umat Islam.
Dalam pengobatan dan yang sebagainya pun termasuk di antara hukum-hukum yang tidak disyaratkan keislaman dalam pelaksanaanya. Sehingga mereka boleh dan tidak dilarang untuk melaksanakannya.
Kedua
Pelaksanaan hukum yang bersifat paksaan atas mereka dari negara. Hal ini terbagi dua macam, yaitu :
A. Hukum-hukum yang tidak menjadikan keislaman sebagai syarat keabsahannya, seperti hukum muamalah, uqubat (sanksi) dan sebagainya. Maka hukum ini diterapkan serta dipaksakan atas mereka, dan mereka disanksi ketika mengabaikannya. Mereka terikat dengannya sebagaimana kaum muslim. Hal itu dikarenakan syarat Ahlu Dzimmah adalah tunduk terhadap hukum syara. Allah Swt berfirman,
حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ
"sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk."(TQS. At Taubah: 29)
Yaitu mereka patuh terhadap hukum Islam. Maka setiap hukum syara yang terdapat seruan bagi kaum muslim dalam berbagai peraturan hidup masyarakat (ekonomi, sosial pergaulan dan sebagainya) akan diterapkan atas setiap warga negara, baik muslim atau non muslim. Terkecuali yang dikecualikan oleh syara dari penerapannya dan bukan dari objek yang diserunya.
B. Hukum-hukum yang menjadikan keislaman sebagai syarat keabsahannya, atau didiamkan oleh Rasulullah Saw atau disepakati oleh ijma shahabat bahwa tidak ada pelaksanaannya. Maka orang kafir tidak dipaksa untuk melaksanakannya. Negara pun tidak menerapkan hukum tersebut atas mereka dan mereka pun tidak disanksi ketika mengabaikannya.
Oleh karena itu, orang kafir tidak dipaksa masuk Islam terkecuali musyrik Arab selain Ahli kitab. Berdasarkan firman Allah Swt,
لَآ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)." (TQS. Al Baqarah: 256)
حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَٰغِرُونَ
"sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk." (TQS. At Taubah: 29)
Rasulullah Saw mendiamkan kaum kafir Yaman ketika mereka tetap menganut agamanya dan mencukupkan dengan mengambil jizyah dari mereka. Mereka tidak dibebani kewajiban shalat dan tidak dilarang melaksanakan ritual agama mereka. Mereka tidak dikenai kewajiban jihad, tidak dipaksa meninggalkan khamr dan sebagainya, yang termasuk dalam hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh nash bahwa mereka harus dipaksa atasnya. Terkecuali kaum musyrik Arab selain Ahli Kitab, berdasarkan firman Allah Swt
قُل لِّلْمُخَلَّفِينَ مِنَ ٱلْأَعْرَابِ سَتُدْعَوْنَ إِلَىٰ قَوْمٍ أُو۟لِى بَأْسٍ شَدِيدٍ تُقَٰتِلُونَهُمْ أَوْ يُسْلِمُونَ ۖ
"Katakanlah kepada orang-orang Badwi yang tertinggal: "Kamu akan diajak untuk (memerangi) kaum yang mempunyai kekuatan yang besar, kamu akan memerangi mereka atau mereka menyerah (masuk Islam)." (TQS. Al Fath: 16)
Ayat ini dikhususkan bagi kaum musyrik Arab selain Ahli Kitab.
Dari Al Hasan, ia berkata:
Rasulullah Saw memerintahkan untuk memerangi kaum musyrik Arab hingga masuk Islam, dan tidak diterima dari mereka selain (keislaman mereka). Dan Rasulullah Saw memerintahkan untuk memerangi kaum kafir Ahli Kitab hingga masuk Islam, apabila mereka menolak masuk Islam maka ditarik jizyah (dari mereka). (al Marasil li Abi Dawud)
Wallahu a'lamu bishshawwaab.
============
Disarikan dari kitab Al Mukhtar fi Ushuli al Fiqhi, karya Al Ustadz Rokhmat Labib hafızhahullahu ta'ala.
.png)
Komentar
Posting Komentar