Pemaknaan Lafadz dalam Bahasa Arab
Memaknai lafadz dalam nash memiliki metode tersendiri. Syaikh
Atha’ ibnu Khalil Abu Ar Rasytah hafizhahullahu ta’ala dalam At Taisir fi Ushul
At Tafsir menjelaskan bahwa makna lafadz dalam bahasa Arab terdiri dari 4 jenis
:
1. Makna Hakiki yang terdiri dari 3 jenis makna:
1.1. Al Haqiqah Al Lughawiyyah (Hakiki secara bahasa)
Yakni makna yang ditempatkan pada lafadz sebagaimana asal
penempatannya dalam bahasa Arab seperti lafazh “Ro’sun” (kepala) bagi manusia
dan hewan adalah bagian paling atas dari tubuh.
1.2. Al Haqiqah Al ‘Urfiyyah (Hakiki menurut kebiasaan
orang Arab)
Yakni makna yang dialihkan sesuai kebiasaan orang Arab dalam
penggunaannya sebagai pengganti dari makna asal, seperti penggunaan lafazh
“Addabbah” untuk “setiap hewan berkaki empat” sesuai kebiasaan orang Arab dalam
penggunaannya. Makna ini merupakan pengganti dari makna asalnya, yakni “setiap
apa yang berjalan di muka bumi”. Maka kata “Addabbah” merupakan makna Haqiqah
‘Urfiyyah (hakiki menurut kebiasaan orang Arab) untuk hewan berkaki
empat.
Termasuk di sini makna Haqiqah ‘Urfiyyah Khashshah (Makna
hakiki kebiasaan secara khusus), seperti kata “Al Fa’il” yang memiliki makna
khas di kalangan para ulama Nahwu.
1.3. Al Haqiqah Asy Syar’iyyah (Makna Hakiki menurut
Syara’)
Yakni makna lafazh yang dialihkan sesuai syara’. Sebagaimana
lafazh “Ash Sholat” untuk ibadah dengan gerakan dan bacaan khusus sebagai
pengganti dari makna bahasanya, yang berarti Doa.
2. Makna Majazi (Kiasan)
Yakni makna kiasan dari makna hakikinya sesuai qarinah
(indikasi) yang menunjukkan bahwa penggunaannya bukan secara hakiki. Semisal
kata “Ashobi’ahum” (jari-jari mereka) dalam QS. Al Baqarah: 19 yang berarti
kiasan untuk “sebagian ujung jari mereka.” (bukan berarti seluruh jari
dimasukkan ke telinga mereka, pen.)
Makna Al Qalbu
Kata Al Qalbu (Qalbu) memiliki arti :
1. Makna hakiki menurut bahasa Arab, berarti jantung.
Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullahu ta’ala menuliskan
kata “Al Qalbu” dengan makna hakiki bahasa dalam tulisannya,
كانوا
يعتبرون أن توقف القلب بدل
على موت الإنسان
“Dulu (para dokter) menganggap bahwa berhentinya jantung
sebagai tanda kematian seseorang.”
2. Makna majazi di dalam Al Quran,
a. Berarti Akal.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh ‘Atha Ibnu Khalil Abu
Ar Rasytah hafizhahullahu ta’ala dalam kitab Tafsirnya, ketika menafsirkan QS.
Al Baqarah: 7.
خَتَمَ
اللَّهُ عَلَى
قُلُوبِهِمْ وَعَلَى
سَمْعِهِمْ وَعَلَى أَبْصَارِهِمْ غِشَاوَةٌ
القلب
هنا بمعنى العقل مجازا لتشابههما في الأهمية للجسم وفي لغة العرب أستعمل القلب
بمعنى العقل مجازا في أكثر من موضع والقرآن نزل بلغة العرب فكان هذا الاستعمال في
أكثر من آية، فالله سبحانه عبر عن العقول بالقلوب في آيات منها: لهم قلُوبٌ
يَعْقِلُونَ بِهَا ) الحج / آية ٤٦
.
Kata “Al Qalbu” dalam konteks ini bermakna akal secara
majazi, karena kesamaannya dalam hal pentingnya bagi tubuh. Dalam bahasa Arab,
istilah Al Qalbu sering digunakan secara kiasan untuk merujuk kepada akal di
berbagai tempat. Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Arab, sehingga penggunaan
ini muncul dalam banyak ayat, di antaranya:
لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ
بِهَا
“Mereka memiliki akal yang dengannya mereka berpikir.” (TQS. Al-Hajj: 46)
b. Berarti Al
Wijdan (hati/perasaan) tempatnya iman, taqwa dan hidayah.
Iman terjadi ketika hati (wijdan/perasaan) menerima sebuah
pemikiran, mengikatnya erat, dan menyatukannya dengan penuh keyakinan serta
ketenangan, disertai persetujuan akal terhadapnya. Namun, syarat utama dari
keyakinan yang pasti ini adalah persetujuan akal. Jika kedua hal ini terpenuhi,
yaitu keyakinan pasti dari hati (wijdan/perasaan) dan persetujuan akal terhadap
keyakinan tersebut, maka iman telah tercapai. Allah SWT berfirman:
إِلَّا
مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُۥ مُطْمَئِنٌّۢ بِٱلْإِيمَٰنِ
“Kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap
tenang dalam beriman.” (TQS. An-Nahl: 106)
أُو۟لَٰٓئِكَ
كَتَبَ فِى
قُلُوبِهِمُ ٱلْإِيمَٰنَ
“Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan
dalam hati mereka.”
(TQS. Al-Mujadalah: 22)
قُل
لَّمْ تُؤْمِنُوا۟ وَلَٰكِن قُولُوٓا۟ أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ ٱلْإِيمَٰنُ
فِى
قُلُوبِكُمْ
“Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami
telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu.” (TQS. Al Hujurat: 14)
Sebagaimana hati menjadi tempat iman, ia juga menjadi tempat
keraguan, keraguan hati, dan penolakan. Allah SWT berfirman:
رَبَّنَا
لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ
رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong
kepada kesesatan setelah Engkau memberi kami petunjuk.” (TQS. Ali ‘Imran: 8). Maka, hati
adalah tempat di mana keyakinan atau keraguan itu berakar. Keyakinan seseorang
terhadap suatu hal yang didasarkan pada penginderaan langsung terhadap fakta
tidaklah sama dengan keyakinan yang diperoleh melalui informasi yang diterima
dari pihak lain. Oleh karena itu, para sahabat berkata kepada Rasulullah
SAW:
«يا
رسول الله إن الله تعالى ليزيدنا إيماناً بك يوماً بعد يوم»
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT menambah keimanan
kami kepadamu dari hari ke hari.”
Allah SWT berfirman mengenai orang-orang beriman:
هُوَ
ٱلَّذِىٓ أَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ فِى قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوٓا۟
إِيمَٰنًا مَّعَ إِيمَٰنِهِمْ ۗ
“Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati
orang-orang yang beriman supaya keimanan mereka bertambah.” (TQS. Al-Fath: 4).
Oleh karena itulah, kita harus mengkaji pemikiran kita supaya sejalan dengan hati (wijdan/perasaan)
kita sehingga menyatu di dalam diri kita, menjadi api yang akan membakar kezaliman,
kejahatan, kefasikan, kekufuran dan kemaksiatan, menjadi cahaya yang
akan menunjukkan manusia pada sebaik-baiknya hidayah dan seagung-agungnya
risalah. Sehingga kita akan senantiasa berjalan di atas jalan dakwah ini, dan supaya kita tidak menjadi seperti yang disebutkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya:
يَقُولُونَ
بِأَلْسِنَتِهِم مَّا لَيْسَ فِي قُلُوبِهِمْ
“Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.” (TQS. Al Fath: 11)
Agar kita mengetahui bahwa di dalam Qalbu (Wijdan/perasaan) itu terdapat banyak penyakit. Setiap perasaan di dalam hati yang dilarang oleh Allah Swt merupakan penyakit hati.
Maka dengki, ketamakan, fanatisme, kebencian, dendam, cinta
akan keagungan, meremehkan hukum-hukum Allah, dan memisahkan diri berdasarkan
mazhab atau kesukuan, semua itu dan hal-hal lain termasuk penyakit hati. Allah
Ta'ala telah memperingatkan tentang penyakit-penyakit tersebut dan orang-orang
yang mengidapnya, sebagaimana firman Allah Swt:
رَأَيْتَ
الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يَنظُرُونَ إِلَيْكَ نَظَرَ الْمَغْشِيِّ
عَلَيْهِ مِنْ الْمَوْتِ
“kamu lihat orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya
memandang kepadamu seperti pandangan orang yang pingsan karena takut mati.” (TQS. Muhammad: 20)
Ketahuilah bahwa kebaikan manusia bergantung pada baiknya
hati, dan kerusakannya bergantung pada rusaknya hati. Karena hati adalah tempat
keimanan, dan jika hati dipenuhi dengan keyakinan yang rusak, itu menjadi
penyebab utama kerusakan seluruh kehidupan manusia. Hati juga merupakan tempat
taqwa; meskipun seorang Muslim dalam keyakinannya, tetapi jika ia memiliki
penyakit dalam muamalah, akhlak, dan ibadahnya karena lemahnya taqwa, maka
tidak diragukan lagi ia akan rusak. Nabi SAW bersabda:
أَلاَ
وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ،
وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
"Ketahuilah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging; jika
ia baik, maka seluruh tubuh menjadi baik, dan jika ia rusak, maka seluruh tubuh
menjadi rusak. Ketahuilah, itu adalah hati." (HR. Bukhari dan Muslim)
Allah Ta’ala
juga berfirman:
فَإِنَّهَا
لاَ تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta adalah hati yang berada di dalam dada” (TQS. Al Hajj: 46)
Wallahu a’lamu bishshawwab. (At. Billah)
Sumber Bacaan:
- At Taysir fi Ushuli At Tafsir, Syaikh ‘Atha ibnu Khalil hafizhahullahu ta’ala.
- Al Hukmu Asy Syar’i fil istinsakh, naqli al a’dla-i, al ijhadi, athfali al anabibi, ajhizati al in’asyi ath thibbiyyah, al hayati wa al mauti. Syaikh Abdul Qadim Zallum rahimahullahu ta’ala.
- https://www.al-waie.org/archives/article/8806

Komentar
Posting Komentar