Langsung ke konten utama

Ma Ta'buduna Min Ba'di?

 


أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهاً وَاحِداً وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ


Artinya :

“Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Ya’qub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya.” (TQS. Al Baqarah[2] : 133).

 

Para ulama tafsir menjelaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan Kaum Yahudi dan Nasrani selalu saja berpaling dari mentauhidkan Allah Swt. Bahkan tatkala mereka hidup di zaman Rasulullah Saw, pada saat wahyu masih turun. Mereka pun tetap mendustakan Rasulullah. Padahal mereka berhadapan langsung dengan Sang Utusan Allah tersebut. Tak hentinya mereka mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Kaum Yahudi berkata bahwa Uzair anak Allah, sedangkan Kaum Nasrani berkata bahwa Isa Al Masih sebagai anak Allah. (lih. Q.S. At-Taubah[9]: 30). Sebuah kedustaan yang nyata, yang sangat bertentangan dengan ajaran tauhid.

Mereka menasabkan keturunan mereka kepada Nabi Ibrahim a.s., Ismail a.s., Ishaq a.s. maupun Ya’qub a.s. Oleh karena itu, Allah Swt mengingatkan mereka atas semua pengingkaran mereka dengan ayat di atas.

Imam Al Qurthubi menjelaskan bahwa yang diseru sebagai “kalian” dalam ayat ini adalah Yahudi dan Nasrani. Mereka bernasab kepada Nabi Ibrahim tetapi tidak pernah berwasiat sebagaimana kakek buyutnya. Bahkan, mereka tetap dalam keyakinan Yahudi dan Nasrani. Allah Swt menentang perkataan dan dusta mereka. Allah mencela mereka : Apakah kalian menyaksikan Ya’qub dan mengetahui apa yang diwasiatkannya? kemudian kalian menyerukannya berdasarkan ilmu atau dugaan dan prasangka semata? Yakni, sebenarnya kalian tidak menyaksikannya, bahkan kalian berpaling (darinya). Aku-lah yang menyaksikan pendahulu kalian (Ya’qub). (Al Jami’ li Ahkam al Qur-an).

Adapun Imam Thabari mengutip Abu Ja’far yang menuliskan : Apakah kalian -wahai bangsa Yahudi dan Nasrani- yang mendustakan Nabi Muhammad, hadir dan menyaksikan saat maut akan menjemput Ya’qub? Jika kalian tidak hadir di sana, maka janganlah kalian menyerukan berbagai kebatilan terhadap para Nabi dan utusan-Ku. Bahkan, kalian mengklaim mereka termasuk golongan Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya Aku-lah yang mengutus kekasihKu Ibrahim –serta anaknya Ishaq, Ismail dan keturunannya- dengan kelurusan Tauhid dan berserah diri (kepada-Ku). Dengan itu pula mereka berwasiat kepada anak keturunannya. Berdasar keyakinan itu pula, mereka membuat perjanjian dengan anak keturunannya. Seandainya kalian menyaksikan mereka. (Jami'ul-Bayan li Ta'wil al Qur'an).

Pertanyaan yang diutarakan Nabi Ya’qub a.s. kepada anak-anaknya merupakan sebuah pertanyaan penting. Pertanyaan yang menjadi perhatian Nabi Ya’qub a.s. untuk anak keturunannya adalah “ma ta’buduna min ba’di?” (“Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?”). Kalimat ini merupakan pertanyaan yang terbuka. Pertanyaan yang memberikan keleluasaan jawaban kepada orang yang ditanya.

Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa ketika disampaikan pertanyaan “ma ta’buduna” (Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku? - mengunakan kata tanya “Apa”) karena pada umumnya, yang disembah selain Allah adalah berupa benda-benda mati seperti berhala, api, matahari dan bintang. (Fathu al-Qadir)

Pertanyaan yang mengandung makna yang dalam. Karena penggunaan lafadz “ma” (Apa?) mengandung makna tersendiri. Syaikh Atha Ibnu Khalil Abu ar-Rasytah menjelaskan bahwa jawaban yang diberikan anak keturunan Ya’qub, yakni penyembahan kepada Allah semata, merupakan jawaban yang tidak berdasarkan pada sikap taqlid atau arahan dari ayah mereka. Akan tetapi jawaban tersebut terlahir dari penerimaan yang rasional dan iman yang benar akan hal tersebut.

Seolah-olah ketika mereka ditanya tentang “ma ta’buduna” (Apa yang akan kalian sembah?), mereka sebelumnya tidak memiliki informasi apapun dan dari siapapun. Mereka pun menjawabnya berdasarkan keyakinan, bukan taqlid buta. Karena orang Arab ketika  menggunakan lafadz “ma” (Apa) untuk menanyakan sesuatu yang majhul (tidak dikenal). Sedangkan jika menanyakan tentang makhluk berakal maka memakai lafazh “man” (Siapa).

Pertanyaan “ma ta’buduna min ba’di?” merupakan pertanyaan untuk anak keturunan Yaqub tentang sesembahan mereka, pertanyaan yang sangat mendasar. Sebagaimana jika mereka belum mengetahui sesuatu apapun dari Si penanya tentang hal yang ditanyakan. Sehingga, jawaban mereka bukanlah sikap taqlid atau berdasarkan kabar yang tidak memiliki argumentasi. Tetapi, sebuah jawaban yang dibangun dengan ilmu yang pasti dan bukti yang nyata. (At Taisiir fi Ushul at Tafsir).

Allah Swt mengabarkan bahwa jawaban anak keturunan Ya’qub a.s. adalah jawaban yang teguh di atas ajaran tauhid. Yakni, penegasan bahwa kami ikhlas beribadah kepada Allah, mentauhidkan-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, serta tidak menjadikan selain-Nya sebagai sesembahan. Dengan menelaah ayat ini, tertolaklah semua klaim dan kebohongan yang ditimpakan Yahudi dan Nasrani kepada para Nabi dan Rasul Allah. Tertolak pula semua ide kufur yang menyatakan tiga agama satu tuhan  Ide sinkretisme yang beranggapan bahwa perbedaan Islam, Yahudi dan Nasrani hanyalah perbedaan tata cara ibadah semata. Ajaran yang mengatakan bahwa pangkal ketiga agama tersebut intinya adalah ajaran Nabi Ibrahim, ini adalah ide kufur yang menyesatkan.

Meskipun yang diseru langsung di dalam ayat ini adalah kaum Yahudi dan Nasrani. Bukan berarti kita tidak perlu mengambil ibrah darinya. Bahkan sebaliknya, kita mesti mengambil pendidikan dan pengajaran darinya. Sebuah pelajaran tentang perkara penting dan utama dalam pendidikan anak-anak kita.

Ketika seseorang sakit keras, sebuah sakit yang biasanya mengantarkan pada kematian. Perkataannya tentu tidaklah akan jauh dari apa yang selalu ada di benaknya. Jika selama sehatnya yang ada di benaknya adalah harta, tentu harta itulah yang akan ia tanyakan dan katakan. Oleh karena itu, ketika seorang Ya’qub bertanya “ma ta’buduna min ba’di?” (Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?)  tentu pengajaran tauhid itulah yang selalu ada di benaknya. Lalu, bagaimanakah dengan kita?

Di era yang serba materialistis ini, tidak jarang para orang tua dihadapkan pada kekhawatiran akan masa depan anak-anaknya. Namun sayangnya, kekhawatiran itu seringkali bukanlah tentang “ma ta’buduna min ba’di?” (Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?) Bahkan lebih cenderung pada “ma ta’kuluna min ba’di?” (Apa yang kalian makan sepeninggalku?). Atau mungkin “ma taf’aluna min ba’di?” (“Apa profesi kalian sepeninggalku?”).

Sehingga, tidak jarang para orang tua memforsir anak-anaknya untuk belajar ini dan itu, menguasai keterampilan ini dan itu. Tetapi penekanan akan Tauhid, dilupakan. Tidak sedikit dari kita yang jarang sekali atau bahkan tak pernah peduli akan pertanyaan, “ma ta’buduna min ba’di?” Seolah-olah semua hal tentang anak-anak kita hanyalah tentang materi dan harta untuknya. Na'udzubillahi min dzalik.

Menyiapkan masa depan terbaik untuk anak-anak kita memang tanggung jawab setiap orang tua. Akan tetapi, akhirat tetaplah jauh lebih utama dibandingkan dunia. Bahkan, apa yang kita miliki di dunia pun semuanya untuk kepentingan akhirat, bukan sebaliknya.

Ma ta’buduna min ba’di? merupakan pertanyaan tentang siapa yang paling berhak disembah dan ditaati. Mendidik anak keturunan kita tentang kepada siapakah mereka mesti menghamba. Menghamba kepada Allah merupakan misi utama penciptaan jin dan manusia. Sudahkah kita berwasiat kepada anak-anak kita, wasiat yang mampu menjawab pertanyaan “ma ta’buduna min ba’di?” (Apa yang akan kalian sembah sepeninggalku?) dengan jawaban yang penuh keimanan dan kesadaran. Rabbi habli minash shalihin. Aamiin. (Ary H., 15 Jumadil Akhir 1446 H)

 

Komentar

Populer di Blog Ini

Agar Cinta Menulis

Mencintai pekerjaan adalah sesuatu hal yang sangat penting, begitulah pandangan keumuman kita. Bahkan, keahlian seseorang seringkali dihubungkan dengan kecintaannya pada suatu pekerjaan. Mencintai terlebih dulu pekerjaannya, barulah ada garansi untuk menjadi ahli karenanya. Dunia menulis pun tak luput dari pandangan tersebut. Untuk menjadi penulis, biasanya kita menghubungkannya dengan kecintaan seseorang terhadap aktifitas menulis. Misal, ketika seseorang suka menulis sedari kecil, disimpulkanlah bahwa ia berbakat menjadi seorang penulis. Benarkah mesti demikian adanya? Penulis tidak membantah adanya kesukaan seseorang terhadap menulis sedari kecil. Mungkin memang benar demikian adanya. Penulis pun tak menampik bahwa mencintai menulis adalah sesuatu yang penting. Karena, cinta menulis akan membuat kita enjoy bersamanya. Namun, penulis kurang setuju jika cinta menulis merupakan bakat bawaan sedari lahir. Sehingga, ia tak bisa disemai dan ditumbuhkan. Ada dua hal pokok yang b...

Mengawal Gerakan Literasi

sumber gambar : literasi[dot]jabarprov[dot]go[dot]id. Geliat aktifitas literasi dan kepenulisan generasi muslim belakangan ini memang begitu menggairahkan. Hal ini seolah memberikan banyak harapan dan angin segar kebangkitan. Apalagi dengan berbagai kemudahan fasilitas berkarya dan memublikasikannya. Geliat ini bukan sekedar isapan jempol. Karena sebuah tulisan, konon bisa memberikan pengaruh yang lebih besar dan lebih lama dibandingkan sebuah ucapan. Sehingga sangatlah besar ekspektasi terhadapnya; geliat kepenulisan generasi muslim akan menghantarkan pada geliat kebangkitan Islam.    Sebagaimana aktifitas membaca, sebenarnya aktifitas menulis tidaklah akan menghantarkan pada kebangkitan masyarakat. Karena pada hakikatnya, membaca dan menulis hanyalah bagian dari sarana penyerapan dan penyampaian informasi. Informasi tersebutlah yang akan disimpan sebagai pemikiran di dalam otak kemudian pandangan hidup (aqidah) yang dimiliki setiap insan akan menentukan apakah pe...

Langkah Praktis Menulis Via Blog Mulai dari Nol

Rekan-rekan semua, berikut akan saya paparkan bagaimana tips praktis membuat blog dengan blogger. Mari kita ikuti langkah-langkah berikut : Bagi yang belum punya email, masuk ke  www.gmail.com Pilih  Buat akun   Isi formulir pada tampilan berikut dan ikuti langkah sampai konfirmasi bahwa email sudah aktif.   Jika email sudah aktif, silahkan masuk ke  www.blogger.com Klik  Tambahkan Akun  pada tampilan berikut : Setelah muncul tampilan di bawah ini,  Masukkan email rekan-rekan semua, sebagai contoh saya masukkan email saya ary.smknkadipaten@gmail.com, klik berikutnya, lalu isikan password email rekan-rekan semua. Pilih Buat Profil Google+ lalu ikuti langkah selanjutnya (saya sarankan memakai identitas sesuai KTP, karena kita sedang membuat kartu nama di dunia maya). Sampai muncul seperti di bawah ini atau yang semisalnya (mungkin tampilan berbeda-beda tergantung lengkapnya langkah yang diambil). Lalu, pilih  Lanjutk...

Total Tayangan