Bahwasanya penilaian Hasan (terpuji) dan Qabih (tercela) suatu benda dan perbuatan bisa berdasarkan pada kesesuaian atau pertentangannya dengan fitrah manusia, bisa pula berdasrkan adanya pahala dan siksa dari Allah Swt.
Adapun dari
segi kesesuaian dan pertentangannya dengan fitrah manusia, bahwasanya manusia
mampu menginderanya dan akalnya pun
mampu untuk melakukan penilaian atasnya. Misal, rasa manis seperti gula dinilai
sebagai sesuatu yang terpuji sedangkan rasa pahit seperti pada buah batrawali
sebagai sesuatu yang tercela. Begitu pula menilai ilmu dan kekayaan sebagai
sesuatu yang terpuji sedangkan kebodohan dan kefakiran sebagai sesuatu yang
tercela. Berdasarkan adanya kesempurnaan dan kekurangan yang ada pada berbagai
hal tersebut. Karena Allah Swt telah menganugerahkan berbagai khasiat yang
memungkinkan manusia untuk memikirkannya. Ada al gharaiz (berbagai naluri),
hajjah ‘udlwiyyah (kebutuhan jasmani) dan akal.
Akan tetapi
penilaian terhadap benda dan perbuatan, apakah terpuji dan tercela dari segi
adanya dampak pahala dan siksa dari Allah Swt, maka manusia tidak akan mampu
melakukannya. Karena berbagai khasiat yang dimiliki oleh manusia itu lemah dan
tidak memiliki pengetahuan mengenai apa-apa yang berdampak pahala dan siksa
dari Allah Swt.
Meskipun
manusia menginderanya namun dia tidak bisa memikirkannya terkecuali apabila
Allah Swt memberikan informasi kepadanya. Informasi ini berupa syariah, berupa
wahyu yang diturunkan oleh Allah Swt kepada para Rasul-Nya.
Syariah
memberikan pujian terhadap beberapa benda dan perbuatan serta menjelaskan
bahwasanya Allah Swt akan memberikan pahala atas manusia karenanya. Begitu pula
memberikan celaan terhadap beberapa benda dan perbuatan lainnya serta
menjelaskan bahwa Allah Swt akan memberikan siksa atas manusia karenanya. Sehingga
penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan, dari segi adakah dampak
pahala dan siksa atasnya hanyalah dari Allah Swt semata dan bukan dari manusia.
Penilaian
manusia berdasarkan fitrahnya tidak bernilai sama sekali dan tidak termasuk
dalam penilaian ketika manusia melakukan perbuatannya. Maka aktifitas jihad,
dakwah dan puasa dipandang terpuji karena diperintahkan oleh Allah Swt meskipun
tidak ada pujian manusia atasnya. Begitu pula meninggalkan riba, zina dan tajassus
(memata-matai) karena dilarang oleh Allah Swt meskipun sejalan dengan hawa
nafsu manusia.
Dengan
demikian di dalam Islam berlaku kaidah
الحسن ما
حسّنه الشرع، والقبيح ما قبحه الشرع
“Hasan
(terpuji) itu adalah apa yang dipuji oleh syariah dan qabih (tercela) itu
adalah apa yang dicela oleh syariah.”
Allah Swt
berfirman,
وَيُحِلُّ
لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ ٱلْخَبَٰٓئِثَ
“…dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala
yang buruk…” (TQS. Al A’raf: 157)
Sehingga yang
thayyib (yang baik) itu apa-apa yang dihalalkan oleh Allah dan yang khabits
(yang buruk) itu apa-apa yang diharamkan-Nya. Tidak ada sedikit pun ruang bagi
fitrah dan akal manusia untuk melakukan penilaian atasnya. Maka anggur itu thayyib
dan terpuji sedangkan khamr itu khabits
dan tercela. Jual beli itu halal dan terpuji sedangkan riba itu haram dan
tercela. (At. Billah)
.png)
Komentar
Posting Komentar